Kepolisian menginformasikan bahwa pihaknya hari ini (29/03) telah merampungkan olah tempat kejadian perkara (TKP) dan berhasil mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan.
Kedua pelaku yang melakukan aksi bom bunuh diri pada Minggu (28/03) pukul 10.20 WITA, merupakan pasangan suami istri berinisial LL dan EM. Polisi memastikan keduanya bagian dari kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Melihat dari karakteristik kejadian selepas ibadah Misa Palma tersebut, analis intelijen dan terorisme, Stanislaus Riyanta, sudah menduga aksi pemboman dilakukan oleh anggota JAD. "Prediksi para analis sebagian besar mengatakan itu JAD dan memang benar ini bukan kejadian yang mengagetkan, pasalnya pada tahun 2018 ada kejadian serupa yang pelakunya berasal dari satu keluarga. Pada tahun 2019 juga terjadi pengeboman di sebuah gereja di Jolo, Filipina, yang pelakunya pasangan suami istri dari Sulawesi dan mereka juga JAD,” kata Stanislaus kepada DW.
Menurutnya, penangkapan terhadap 24 anggota JAD asal Sulawesi Selatan memicu insiden bom bunuh diri kemarin (28/03). Dugaan kuat pelaku pemboman Gereja Katedral Makassar juga akan tertangkap, sehingga mereka memilih untuk melakukan aksi bom bunuh diri. Pemboman tersebut diyakini terjadi karena dilatarbelakangi tiga motif, yakni balas dendam, mencapai tujuan ideologi, dan eksistensi.
"Tujuan pribadi, karena dia tidak mau tertangkap sehingga akhirnya memilih aksi bunuh diri untuk mencapai kemuliaan. Pelaku meyakini bahwa aksi itu adalah aksi yang benar dan mendapat kemuliaan, mereka juga mengajak orang terdekatnya untuk mencapai kemuliaan sesuai keyakinannya. Selanjutnya adalah tujuan kelompok, menunjukkan bahwa kelompok JAD masih eksis,” tambahnya.
Stanislaus yang juga merupakan Direktur Eksekutif Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia, meyakini keputusan pelaku memilih momen ibadah Misa Palma adalah karena mereka sudah terdesak dan faktor keamanan gereja yang tidak terlalu ketat.
"Saya menduga kenapa memilih Minggu Palma, selain memang ada ibadah di situ juga karena mereka sudah terdesak dikejar-kejar oleh aparat, jadi memang ada momentum yang bersamaan. Namun, kenapa tidak memilih misalnya Malam Paskah yang lebih besar, karena biasanya pada momen itu penjagaannya lebih ketat.”
JAD dan kelompok teroris tidak tidur, tetapi bersembunyi
Seperti diketahui, kelompok teroris yang masih eksis di Indonesia saat ini adalah kelompok yang berafiliasi dengan ISIS seperti JAD dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), serta kelompok yang berafiliasi dengan Al Qaeda seperti Al Jamaah Al-Islamiyyah (JI).
"Aliran JI (yang melakukan Bom Bali 2 dan Hotel JW Marriott) itu sejak kematian Osama bin Laden dan Dr Azahari, mereka memilih tidak melakukan aksi kekerasan, melainkan berdakwah, penggalangan dana, dan bisnis. Sementara kelompok yang berbaiat kepada ISIS masih melakukan kekerasan,” papar Stanislaus.
Untuk mengetahui pelaku dari sebuah aksi teror, Stanislaus mengaku bahwa para analis terorisme terbantu dengan adanya buku pedoman umum perjuangan Jamaah Islamiyyah yang memiliki pesan sangat kuat dan tersusun rapi. Terbukti ketika terjadi insiden bom di Surabaya tahun 2018 yang melibatkan perempuan dan anak-anak, polisi sudah memastikan pelakunya bukan berasal dari JI.
Selain itu, dengan adanya undang-undang nomor 5 tahun 2018 yang telah diperbaharui dan penangkapan besar-besaran tahun 2019-2021, tidak menutup kemungkinan muncul aksi balas dendam dari kelompok teroris tersebut. Isu yang selama ini beredar mengenai sel-sel tidur teroris di Indonesia terpatahkan atas kejadian bom bunuh diri Makassar.
"Dampaknya memang kalau ada penangkapan besar-besaran, sangat dimungkinkan ada juga aksi balas dendam. Ini yang harus diwaspadai. Mereka bukan tidur, melainkan bersembunyi. Saya kira tidak ada sel tidur teroris di Indonesia, karena JI pun tidak tidur,” ucap alumni S2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia itu.
"Kalau kita bicara tentang JAD, saya menduga jumlahnya lebih banyak lagi. Bisa lebih dari 20 ribu termasuk simpatisan, tetapi tersebar hampir merata di seluruh Indonesia. Semakin besar tekanan, ada dua kemungkinan mereka akan menghilang, menyembunyikan diri atau mereka melakukan aksi balasan yang dipercepat.”
Klaim "bukan masalah agama”
Sejumlah pihak meminta peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar tidak dikaitkan dengan agama ataupun suku tertentu, lantaran aksi terorisme tidak manusiawi dan bertentangan dengan ajaran agama manapun.
Stanislaus yakin bahwa semua agama baik, suci, dan tidak ada yang mengajarkan terorisme. Namun, dia tidak menampik fakta bahwa kelompok teroris melakukan perekrutan anggota dengan menggunakan dalil agama tertentu.
"Banyak pihak yang buru-buru mengeluarkan pernyataan bahwa kejadian ini tidak ada hubungannya dengan agama. Ini bukan masalah agama, tetapi faktanya kelompok ini melakukan penggalangan dan perekrutan dengan dalil-dalil agama. Mereka meyakini kuat bahwa akan naik ke surga, mereka juga menyerang tempat ibadah, dan ini semua kan simbol-simbol agama. Oknum-oknum yang menggunakan dalil agama atau melakukan tafsir secara salah terhadap agama untuk kepentingan kelompoknya, ini yang harus segera dibenahi,” terangnya.
Maka dari itu, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian, sinergi antara masyarakat dan pemuka agama sangat dibutuhkan dalam mencegah aksi terorisme. Sikap saling menyalahkan pun tidak akan membantu menyelesaikan tindak kejahatan terorisme di Indonesia.
Menurut Stanislaus, upaya ideal yang bisa dilakukan saat ini adalah menggencarkan pemahaman oleh pemuka agama kepada seluruh masyarakat tentang ajaran agama yang benar dan lurus. "Saya kira ini menjadi momentum yang penting, kesempatan yang bagus bagi semua pemuka agama, apapun agamanya untuk bersatu menyebarkan bahwa ajaran itu salah, yang benar seperti ini, sehingga masyarakat tidak mengikuti lagi. Kita nyatakan saja mereka menggunakan tafsir yang salah dan upaya ini harus dimasifkan terus-menerus. Jadikan teroris sebagai musuh utama.” (ha/vlz)