REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Beberapa kelompok pemberontak bersenjata di Myanmar mengancam untuk melawan jika militer tidak berhenti membunuh pengunjuk rasa anti-kudeta. Mereka akan bekerja sama dengan demonstran untuk melawan junta yang melakukan kudeta pada 1 Februari.
Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang, Tentara Aliansi Demokratik Kebangsaan Myanmar, dan Tentara Arakan (AA) menyampaikan pernyataan bersama pada Selasa (30/3). Mereka menyatakan bergabungnya banyak kelompok dalam penentangan kudeta akan menarik lebih banyak dukungan.
"Pembunuhan brutal terhadap warga sipil tak berdosa semacam ini tidak dapat diterima," ujar juru bicara AA, Khine Thu Kha, dikutip dari Aljazirah.
Kelompok-kelompok itu mendesak militer untuk membuka dialog dengan penentang kudeta dan menyelesaikan krisis dengan cara politik. Jika kelompok tersebut angkat senjata, Debbie Stothard dari Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH), mengatakan situasi dapat menuju perang saudara.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan, pasukan keamanan telah menewaskan sedikitnya 510 orang sejak perebutan kekuasaan 1 Februari. Total korban meninggal hingga akhir pekan lalu telah meningkat menjadi 141 korban.
Dengan meningkatnya jumlah korban tewas, salah satu kelompok utama di balik protes, Komite Pemogokan Umum Nasional, menyerukan pasukan etnis minoritas yang tak terhitung jumlahnya di negara itu untuk membantu. Mereka meminta bantuan menentang penindasan yang tidak adil dari militer.
Sebanyak dua lusin pemberontakan etnis minoritas telah berkobar di Myanmar sejak kemerdekaan dari penjajahan Inggris pada 1948. Perang itu memperebutkan otonomi, identitas etnis, obat-obatan dan sumber daya alam. Militer telah berusaha untuk memutuskan kesepakatan dengan beberapa kelompok bersenjata dan awal bulan ini mengeluarkan AA dari daftar organisasi teroris.
Tapi, selama akhir pekan, mereka melancarkan serangan udara di negara bagian Karen timur dan menjadi serangan pertama dalam 20 tahun. Militer menargetkan Brigade Kelima Persatuan Nasional Karen (KNU) setelah kelompok itu merebut pangkalan militer.