REPUBLIKA.CO.ID, KOPENHAGEN -- Pemerintah di Kopenhagen, Denmark berniat membatasi jumlah penduduk yang tidak berasal dari negara Barat di sejumlah permukiman dari 50 menjadi 30 persen. Hal ini dikecam pegiat hak asasi manusia.
Rancangan undang-undang yang diajukan pertengahan Maret silam itu, membidik masyarakat paralel di Denmark. Istilah itu digunakan pemerintah untuk menyebut kantong permukiman yang penduduknya dinilai tidak terintegrasi dengan baik di dalam masyarakat Denmark.
Melalui rancangan undang-undang tersebut, pemerintah berniat mengurangi jumlah populasi "non-Barat” sebanyak 30 persen selama sepuluh tahun ke depan. Keluarga yang terpilih nantinya akan dipindahkan ke kawasan pemukiman lain.
Saat ini pun, Denmark sudah memiliki undang-undang yang mengatur proporsi warga asing pada sebuah permukiman sebatas maksimal 50 persen. Legislasi itu berlaku untuk permukiman dengan lebih dari 1.000 penduduk, yang diukur berdasarkan sejumlah faktor, antara lain tingkat pengangguran, rata-rata pendapatan, tingkat pendidikan, dan angka kriminalitas.
Kemungkinan lolosnya RUU tersebut dinilai besar. Sebabnya advokat HAM bersiap melancarkan penolakan, jika susunan legislasi yang sudah dibuat, tidak diubah.
"Kekhawatiran kami adalah latar belakang etnis akan lebih diperhatikan ketimbang saat ini,” kata Nanna Margrethe Kusaa, seorang pegiat di Institut HAM Denmark.
Kantor Utusan Khusus PBB untuk HAM Michelle Bachelet, tahun lalu sudah mewanti-wanti terhadap kemunculan legislasi semacam itu. "Dalam tindakan melawan apa yang dinamakan penduduk "non-Barat,” yang akan menjadi korban adalah warga non-putih atau non-Eropa di Denmark”, demikian bunyi pernyataan pers PBB.