Sebuah artikel anonim menyerukan University of Melbourne untuk tidak menerima mahasiswa asal China
Seruan ini dikeluarkan di tengah tuduhan pelanggaran hak asasi yang dilakukan Pemerintah China terhadap warga Uyghur yang juga menimbulkan perdebatan sengit.
Ini adalah insiden terbaru di sektor pendidikan tinggi di Australia terkait masalah kebebasan berbicara, sentimen anti-China, sensor, dan pengaruh asing.
Artikel berjudul "On China" tersebut diterbitkan oleh De Minimis, penerbitan tidak resmi yang dibuat oleh mahasiswa jurusan hukum di University of Melbourne tanggal 18 Maret lalu.
Penulis artikel tersebut mengatakan "tidak menerima mahasiswa China" akan menjadi semacam tindakan boikot, setelah Kanada dan Amerika Serikat menuduh China melakukan genosida terhadap warga minoritas Muslim Uyghur di Xinjiang.
"Saya tidak tidak membenci teman-teman kuliah saya asal China. Saya berteman dengan banyak diantara mereka." demikian tulis artikel tersebut.
"Namun, CCP (Partai Komunis China) harus belajar dengan melakukan genosida, maka akan ada konsekuensinya terhadap warga China."
Max Ferguson editor penerbitan De Minimis mengatakan kepada ABC jika mereka tidak mendukung ataupun menolak opini yang mereka terbitkan.
Kebijakan penerbitan itu "mendukung adanya pertukaran pemikiran bebas dan terbuka yang relevan bagi komunitas mahasiswa jurusan hukum," katanya.
Belle Lim, Presiden Dewan Mahasiswa Internasional Australia (CISA) mengatakan walau kelompoknya mendukung kebebasan berbicara di universitas, namun artikel itu mengkhawatirkan dari sisi lain.
Artikel tersebut bisa semakin memperkuat rasisme anti China dan anti-Asia, katanya.
"Tidak seorangpun mahasiswa harus menjadi sasaran atau dikucilkan di negeri ini," kata Belle Lim.
Dalam pesan internal yang dikirimkan ke mahasiswa seminggu setelah artikel tersebut diterbitkan, Dekan Jurusan Hukum Melbourne Law School mengatakan meski penting bagi mahasiswa untuk mendiskusikan topik kontroversial secara terbuka, mereka harus melakukannya dengan cara yang benar.
"Diskriminasi rasial dan fitnah tidak bisa diterima di MLS [Melbourne Law School] dan tidak akan ditolerir," bunyi pesan tersebut tanpa menyebut langsung artikel yang ada.
Juru bicara Melbourne University mengatakan De Minimis adalah "penerbitan yang dibuat oleh mahasiswa dan tidak berbicara atas nama University of Melbourne".
"University of Melbourne sudah dan akan terus menjadi lingkungan yang aman dan inklusif bagi seluruh mahasiswa lokal dan internasional."
Kritik terhadap China atau memperparah rasisme?
Dua mahasiswa asal China yang berbicara dengan ABC secara anonim karena khawatir mendapat serangan rasis mengatakan prihatin dengan artikel tersebut.
Gunn*, seorang mahasiswa doktoral yang sekarang masih belajar dari China mengatakan dia dan teman-temannya terkejut ketika membaca artikel tersebut.
Mereka juga mengkhawatirkan keselamatan pribadi mereka.
"Kami juga melihat beberapa komentar di bawah artikel tersebut yang juga bernada diskrimanasi terhadap mahasiswa China," kata Gunn.
"Jadi artikel tersebut tidak hanya bersifat diskriminatif, namun juga bisa menimbulkan lebih banyak diskriminasi lagi terhadap mahasiswa China.
Billy* seorang mahasiswa lain mengatakan dia bisa mengerti adanya seruan untuk memboikot Partai Komunis China, namun nada pembicaraan berubah ketika berbicara mengenai mahasiswa.
"Pembicaraan mengenai memboikot mahasiwa China menjadi pembicaraan soal rasisme, dan saya merasa sanga tidak nyaman," kata Billy.
Kedua mahasiswa menolak memberikan pendapat mereka soal pelanggaran HAM di Xinjiang.
Jeremy Waite, presiden Keluarga Alumni University of Melbourne, yang mendanai De Minimis, mengatakan organisasinya akan melakukan "tindakan yang tepat" terhadap publikasi tersebut karena memuat artikel yang melanggar nilai rasa hormat dan inklusif.
Menurut menurut Profesor Katharine Gelber dari University of Queensland, seruan "untuk tidak menerima mahasiswa China'" masih masuk dalam kategori kebebasan berbicara.
Dia mengatakan dalam hukum Australia kebebasan berbicara memiliki batasan juga dan tidak mendukung ujaran kebencian.
Namun menurutnya, seruan untuk tidak menerima mahasiswa China tidak masuk dalam kategori ujaran kebencian.
"Definisi ujaran kebencian juga berarti bahwa ada tindakan signifikan yang menyebabkan adanya perilaku tertentu," kata Prof Gelber.
"Jadi ujaran kebencian, contohnya tidak bisa dalam bentuk menyinggung perasaan seseorang."
'Menyamakan semua warga China dengan CCP'
Fran Martin associate professor di University of Melbourne yang melakukan penelitian mengenai mahasiswa internasional China di Australia mengatakan artikel itu masih bisa menambah diskriminasi terhadap mahasiswa China.
"Saya kira penulis artikel itu salah dalam menggolongkan semua mahasiswa China, yang sebagian besar kuliah dibiayai sendiri dan tidak memiliki hubungan dengan CCP, dengan mereka yang menerima uang dari CCP," kata Professor Martin.
"Memboikot mahasiswa China tidak akan berpengaruh terhadap CCP, bila memang itu apa yang dikehendaki penulis artikel."
Yun Jiang Direktur lembaga China Policy Centre juga mempertanyakan ide memboikot mahasiswa China sebagai usaha memboikot China.
"Artikel itu menyamakan warga China sama dengan CCP," kata Jiang.
Sophie McNeill peneliti di Human Rights Watch Australia (HRW), yang juga mantan wartawan ABC, menentang usaha memboikot mahasiswa China untuk mendukung masalah pelanggaran HAM di Xinjiang.
"Mahasiswa China sudah memberikan kontribusi besar bagi kehidupan kampus di Australia, dan sudah memberikan kontribusi di berbagai bidang termasuk HAM," katanya.
"Ini betul-betul ide yang salah."
Penulis Wing Kuang adalah tutor paruh waktu di Fakultas Seni, University of Melbourne.
Nama dalam artikel diganti untuk melindungi sumber.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari artikel di ABC News