Dengan menggunakan alasan pandemi corona sebagai "senjata", banyak pemerintahan semakin menekan hak-hak warga negara selama setahun terakhir, tulis kelompok hak asasi Amnesty International (AI) dalam laporan tahunannya, yang dipublikasikan hari Rabu (07/04). Laporan itu juga menggambarkan bagaimana etnis minoritas, pengungsi, dan perempuan menjadi korban.
"Di tingkat global, pandemi COVID-19 memperburuk ketidaksetaraan," ujar Philip Luther, Direktur Riset dan Advokasi Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, Amnesty International, kepada DW. "Kejamnya, mereka yang paling banyak berkorban, sering kali paling sedikit terlindungi dalam pandemi ini. Pandemi itu berdampak buruk pada petugas kesehatan," tambah Luther.
Pada tahun 2020, pemerintah dituntut menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa untuk mengurangi dampak pandemi, terutama pada kelompok yang kurang beruntung. Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard mengecam pemerintah karena gagal mengambil peran itu. Dia meminta para pemimpin untuk mengatur ulang dan memulai kembali untuk membangun dunia yang didasarkan pada kesetaraan, hak asasi manusia, dan kemanusiaan.
"Kita harus belajar dari pandemi, dan bersatu untuk bekerja dengan berani dan kreatif sehingga semua orang memiliki pijakan yang sama," katanya dalam siaran pers. Laporan AI tersebut mencakup 149 negara. Delapan di antaranya jadi sorotan utama DW.
Mesir
Di bawah pemerintahan Presiden Abdel Fattah el-Sisi, pihak berwenang di Mesir telah melakukan penindasan brutal terhadap kebebasan berekspresi dan menekan yang mengkritik pemerintah. Jurnalis dan petugas kesehatan yang menyampaikan masalah kesehatan masyarakat dalam masa COVID-19 banyak mengalami represi. Setidaknya sembilan petugas kesehatan diselidiki atas tuduhan terkait terorisme, serta "menyebarkan berita palsu”.
"Mereka adalah petugas kesehatan yang di Mesir menyatakan keprihatinan akan keselamatan dan mengkritik penanganan pemerintah terhadap pandemi," kata Luther. Menurut Luther, penyelidikan atas mereka masih berlangsung. Pihak berwenang - dalam konteks pandemi – telah meningkatkan tekanan pada kebebasan berpendapat.
Lebanon
Lebih dari delapan bulan setelah ledakan dahsyat pada tanggal 4 Agustus 2020 yang mengoyak ibu kota Beirut, pihak berwenang Lebanon gagal menyampaikan hasil penyelidikan kepada keluarga lebih dari 200 orang yang tewas dalam ledakan itu.
Sebuah akun resmi mengaitkan ledakan itu dengan 2.750 ton amonium nitrat yang disimpan selama bertahun-tahun di pelabuhan, tetapi pihak berwenang gagal meminta pertanggungjawaban siapa pun. Dalam laporannya, Amnesty International mengutip dokumen resmi yang bocor, di mana pihak berwenang di bea cukai, pengadilan, militer dan aparat keamanan sudah berulangkali dalam enam tahun terakhir, memperingatkan pemerintah tentang timbunan bahan kimia berbahaya di pelabuhan itu.
Brazil
Presiden berhaluan ekstrim kanan Brasil, Jair Bolsonaro, yang terkenal karena komentar rasisnya tentang masyarakat adat, telah membiarkan perusakan hutan hujan Amazon terus berlanjut sejak ia menjabat pada bulan Januari 2019. Di bawah pemerintahan Bolsonaro, kekerasan polisi meningkat selama pandemi. Deforestasi meningkat tajam, sementara polisi memperketat cengkeraman mereka terhadap aktivis lingkungan.
Amnesti mencatat setidaknya 3.181 warga sipil dibunuh oleh polisi di seluruh negeri antara bulan Januari dan Juni tahun lalu – dengan rata-rata 17 kematian per hari. Menurut LSM Global Witness, negara ini adalah negara paling mematikan ketiga di dunia bagi aktivis lingkungan dan hak asasi manusia. Pada tahun 2020, penderitaan masyarakat adat Brazil memburuk, baik karena COVID dan penambangan ilegal, kebakaran hutan dan perampasan tanah.
Meksiko
Sementara itu, selama pandemi juga dilaporkan, kekerasan dalam rumah tangga dan berbasis gender melonjak secara global. Di Meksiko, Amnesty mengutip kasus pembunuhan seorang perempuan berusia 25 tahun yang dilaporkan dikuliti dan dimutilasi oleh suaminya. Beberapa hari kemudian dalam insiden lain,jasad seorang gadis berusia 17 tahun ditemukan di dalam kantong plastik.
Pada tahun 2020, dilaporkan terjadi pembunuhan terhadap lebih dari 3.700 perempuan. Lebih dari 900 di antaranya diselidiki sebagai kasus femisida."Kekerasan terhadap perempuan adalah epidemi dalam proporsi global. Dan kegagalan pemerintah untuk memprioritaskan tindakan untuk memerangi kekerasanlah yang memungkinkan hal ini terjadi," tambah Luther.
Bulgaria
Dalam gambaran umumnya, Amnesty meminta pemerintah untuk segera mengambil tindakan untuk mencapai keadilan gender dan melindungi anggota komunitas LGBT+.
Di Bulgaria lebih dari 70% orang LGBT+ merasa harus menyembunyikan orientasi seksual mereka, demikian menurut survei yang dilakukan oleh Badan Hak Fundamental Uni Eropa. Penggemar sepak bola dilaporkan ingin "membersihkan" Kota Plovdiv dari komunitas LGBT+.
Denmark
Di Denmark, Undang-undang Perumahan yang diskriminatif menjadi sorotan. Amnesty International menyampaikan kekhawatirannya atas undang-undang yang mengatur proporsi warga non-Barat pada sebuah pemukiman, sebatas maksimal 50%. Peraturan tersebut memberi label pemukiman penduduknya yang terdiri lebih dari 50% "non-Barat" sebagai "ghetto".
Para aktivis baru-baru ini juga memperingatkan bahwa perubahan aturan yang diusulkan pemerintah akan mengurangi persentase jumlah orang "non-Barat" di perumahan sosial, hingga 30%. Laporan AI juga menyebutkan peningkatan pelecehan secara verbal dan fisik yang menargetkan minoritas selama masa lockdown dari bulan Maret hingga Juni tahun lalu.
Myanmar
Setidaknya 550 warga sipil tewas di Myanmar sejak kudeta militer 1 Februari lalu, demikian laporan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik. Tetapi bahkan sebelum junta militer menggulingkan pemerintahan terpilih yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, konflik bersenjata telah meningkat di negara itu. Amnesty International memperingatkan tentang "pelanggaran hak asasi manusia yang serius", termasuk penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya terhadap tahanan sipil yang dilakukan pasukan pemerintah, dengan target kaum minoritas.
Serangan udara tanpa pandang bulu menewaskan dan melukai warga sipil sepanjang tahun, termasuk anak-anak. Februari lalu, pada Hari Anak, peluru artileri mendarat di sebuah sekolah dasar di Negara Bagian Rakhine, dan melukai sedikitnya 17 siswa. Militer membahayakan nyawa warga sipil dengan menduduki sekolah dan mengubahnya menjadi pangkalan militer sementara, tulis Amnesty.
Kenya
Penggunaan kekuatan polisi Kenya yang berlebihan menjadi pusat perhatian dalam pelanggaran hak di negara sub-Sahara itu. Pada bulan Januari, polisi menembakkan peluru tajam ke arah para demonstran damai di Nairobi, yang memprotes kondisi jalan yang mengerikan di lingkungan mereka.
Polisi juga memberlakukan jam malam dengan kekuatan mematikan, yang menewaskan sedikitnya enam orang hanya dalam 10 hari, tulis Amnesty. (rzn/as)