REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Johnson & Johnson mengumumkan pada Selasa (13/4) bahwa mereka akan menghentikan pendistribusian vaksin di Eropa setelah regulator kesehatan Amerika Serikat menyerukan penghentian penggunaannya.
Perusahaan tersebut mengatakan telah meninjau kasus-kasus terkait dengan otoritas kesehatan Eropa dan memutuskan menunda peluncuran vaksin di Eropa.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS sebelumnya menghentikan distribusi vaksin Johnson & Johnson setelah ditemukannya enam kasus penggumpalan darah sekitar dua minggu setelah suntikan diberikan.
Tidak seperti vaksin dari Moderna dan Pfizer-BioNTech, vaksin Johnson & Johnson hanya memerlukan satu dosis. Artinya, vaksin ini perlu lebih banyak waktu untuk diserap sepenuhnya oleh individu. Vaksin Moderna dan Pfizer-BioNTech memerlukan dua suntikan dosis dengan jarak masing-masing empat atau tiga minggu.
AS telah memberikan 190 juta vaksin secara nasional dengan sekitar 36 persen populasi telah menerima setidaknya satu dosis, sedangkan lebih dari 20 persen populasi telah divaksin penuh.
Baca juga : Virus Corona Brasil DIsebut Lebih Kebal Terhadap Vaksin