REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Negara-negara Eropa yang terlibat dalam kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA) dan Amerika Serikat (AS) mengecam keputusan Iran untuk meningkatkan pengayaan uranium hingga tingkat kemurnian 60 persen. Inggris, Prancis, dan Jerman mengatakan keputusan untuk meningkatkan pengayaan uranium dan mengaktifkan 1000 mesin sentrifugal canggih di fasilitas nuklir Natanz telah bertentangan dengan pembicaraan JCPOA.
“Pengumuman Iran sangat disesalkan mengingat itu datang pada saat semua peserta JCPoA dan Amerika Serikat telah memulai diskusi substantif, dengan tujuan menemukan solusi diplomatik cepat untuk merevitalisasi dan memulihkan JCPoA,” kata ketiga negara dalam sebuah pernyataan.
Pekan lalu, Iran dan negara-negara yang terlibat dalam JCPOA mengadakan pembicaraan konstruktif di Wina, untuk memulihkan kesepakatan yang dibatalkan oleh pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump. Inggris, Prancis, dan Jerman mengatakan tindakan Iran yang meningkatkan pengayaan uranium bertentangan dengan upaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan.
"Komunikasi berbahaya Iran baru-baru ini bertentangan dengan semangat konstruktif dan itikad baik dari diskusi ini," ujar tiga negara tersebut.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan, Iran telah membuat sebuah langkah provokatif. Hal ini membuat Blinken mempertanyakan keseriusan Teheran terkait pembicaraan di Wina. "Kami menanggapi dengan sangat serius pengumuman provokatif untuk mulai memperkaya uranium pada 60 persen. Saya harus memberi tahu Anda langkah yang mempertanyakan keseriusan Iran sehubungan dengan pembicaraan nuklir," ujar Blinken.
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei pesimis dengan pembicaraan mengenai kesepakatan nuklir di Wina. Dia mengatakan, AS mencoba memaksakan persyaratannya untuk menyelamatkan kesepakatan itu. Sementara kekuatan Eropa melakukan penawaran kepada Washington. "Pembicaraan nuklir di Wina tidak boleh menjadi pembicaraan tentang gesekan. Ini berbahaya bagi negara kita," ujar Khamenei.
Pada 2018, AS keluar dari JCPOA di bawah pemerintahan mantan Presiden Donald Trump dan memberikan sanksi ekonomi kepada Iran. Sejak AS keluar dari JCPOA, Iran telah melanggar batas pengayaan uranium menjadi 20 persen. Di bawah ketentuan dalam JCPOA, Iran dapat memperkaya uranium heksafluorida, bahan baku sentrifugal, pada tingkat 3,67 persen.
Pengayaan uranium pada tingkat tiga hingga lima persen dapat digunakan untuk menjalankan pembangkit listrik tenaga nuklir. Sementara pengayaan di tingkat 20 persen merupakan langkah signifikan untuk membuat senjata nuklir, dan di tingkat 90 persen untuk membuat bom atom.