REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Selandia Baru pada Rabu (14/4) mengatakan akan menghentikan ekspor ternak melalui laut setelah ada masa transisi yang berlaku hingga dua tahun karena kekhawatiran tentang kesejahteraan hewan.
Keputusan Selandia Baru itu akan memengaruhi mitra-mitra dagang utamanya, termasuk Australia dan China. Larangan ekspor ternak itu disambut baik oleh kelompok pemerhati kesejahteraan hewan. Namun, badan industri peternakan mengaku terkejut dan tidak mengetahui soal pelanggaran terhadap standar ekspor ternak melalui laut.
Ekspor ternak hidup melalui laut mewakili sekitar 0,2 persen dari pendapatan ekspor sektor primer Selandia Baru sejak 2015 dengan rata-rata pendapatan sekitar 42,32 juta dolar AS (sekitar Rp 619,45 miliar) per tahun dari 2015 hingga 2019. Selandia Baru tahun lalu mengekspor 113.285 sapi melalui laut.
"Kami belum dapat menjamin keamanan hewan-hewan ini di laut dan itu adalah risiko yang tidak dapat diterima untuk Selandia Baru," kata Menteri Pertanian Damien O'Connor kepada wartawan.
O'Connor menambahkan, para mitra dagang utama Selandia Baru telah diberi tahu tentang keputusan tersebut. "Saya menyadari pentingnya hubungan perdagangan kami dengan mitra internasional kami dan kami berkomitmen untuk bekerja sama dengan mereka saat kami beralih dari pengiriman ternak melalui laut," katanya.
Saat ditanya mengenai kekhawatiran bahwa langkah tersebut akan mengecewakan China, yang merupakan importir utama ternak hidup dari Selandia baru, O'Connor mengatakan, "Ini bukan tentang China. Ini tentang kesejahteraan hewan dan reputasi kami."
Direktur eksekutif World Animal Protection New Zealand, Simone Clarke, mengatakan keputusan itu "momen penting dalam sejarah Selandia Baru untuk pelindungan hewan, yang sekarang harus diikuti pemerintah lain di seluruh dunia." Namun, juru bicara Federasi Petani Selandia Baru Wayne Langford mengatakan, badan industri itu "tidak memiliki informasi tentang pelanggaran standar tinggi yang berkaitan dengan ekspor ternak."
Pemerintah Selandia Baru tahun lalu mengatakan sedang meninjau standar ekspor ternak hidup ketika menerapkan langkah-langkah sementara setelah sebuah kapal laut terbalik saat menuju China hngga menewaskan hampir 6.000 sapi serta 41 dari 43 anggota awak kapal. O'Connor mengatakan bahwa, meskipun ada perbaikan proses, perjalanan laut yang panjang ke pasar belahan bumi utara terus menimbulkan tantangan bagi kesejahteraan hewan.