Kekhawatiran serupa pun digaungkan oleh satu dari empat perempuan yang bernegosiasi dengan Taliban untuk pemerintahan Afghanistan, Fatima Gailani. "Penarikan diri tanpa perdamaian diselesaikan di Afghanistan adalah ... tidak bertanggung jawab," katanya kepada CNN.
Gailani mengaku, perhatian terbesarnya adalah perang saudara. Kondisi ini pun akan membuat perempuan Afghanistan kembali berhadapan dengan kerasnya sikap Taliban.
Ketika pemerintahan Taliban berkuasa pada akhir 1990-an, para perempuan dikucilkan dari pendidikan. Kebanyakan perempuan tidak dapat bekerja atau bahkan tidak bisa meninggalkan rumah tanpa wali laki-laki.
Kondisi itu yang menjadi perhatian Fawzia Ahmadi. Perempuan yang saat ini mengajar di sebuah universitas swasta di provinsi Balkh di Afghanistan utara ini menyadari tidak akan bisa bekerja seperti itu ketika negara diperintah oleh Taliban pada 1990-an.
"Kami memiliki kenangan buruk tentang rezim Taliban. Perempuan tidak diizinkan pergi ke sekolah atau universitas dan kami bahkan tidak bisa pergi ke pasar sendirian," kata perempuan berusia 42 tahun ini.
Ahmadi menyatakan, pemerintah Afghanistan yang didukung Barat, hak-hak perempuan telah dilindungi. "Pikiran (Taliban) sama seperti pada tahun 1996. Kami takut akan kebebasan kami," katanya. Dwina Agustin