REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Kelompok masyarakat sipil pengawas tahanan politik di Myanmar menyampaikan warga yang tewas dalam demonstrasi menentang kudeta militer sudah mencapai 737 orang sejak 1 Februari lalu.
Dalam laporannya Ahad tengah malam (18/4), Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP) menyampaikan tambahan 7 orang tewas menyusul kekerasan yang terjadi di Myanmar.
AAPP juga melaporkan hingga 18 April, total 3.229 orang telah ditahan.
Dari jumlah itu, 75 orang dijatuhi hukuman dan 930 lainnya telah dikeluarkan surat perintah penangkapan.
Sementara itu, media lokal Myanmar Now pada Senin melaporkan dua pengunjuk rasa anti-kudeta tewas di Myanmar utara selama akhir pekan ketika militer melanjutkan tindakan kekerasan untuk membubarkan demonstrasi melawan pemerintah.
Satu orang dilaporkan tewas di kota bagian utara Negara Bagian Shan, Kyaukme pada Sabtu, sementara yang lain tewas dalam baku tembak di Kotapraja Kani di Wilayah Sagaing pada hari Minggu, lansir Myanmar Now.
Aung Ko Ko Phyo, pegawai pemerintah berusia 25 tahun yang bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil, ditembak di kepala di dekat biara Wailuwun Kyaukme pada Sabtu malam.
Penduduk Kyaukme, sebuah kota perdagangan yang berada sekitar 175 km timur laut Mandalay, telah mengadakan protes rutin terhadap militer sejak merebut kekuasaan dalam kudeta pada 1 Februari. Pada Ahad, seorang pria lainnya tewas setelah penangkapan yang menyebabkan kekisruhan antara pasukan rezim dan warga sipil di wilayah Sagaing.
Myanmar diguncang kudeta militer pada 1 Februari dengan menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi. Militer berdalih pemilu yang mengantarkan Suu Kyi terpilih dengan suara terbanyak penuh kecurangan. Menanggapi kudeta tersebut, kelompok sipil di seluruh negeri meluncurkan kampanye pembangkangan dengan demonstrasi massa dan aksi duduk di jalan.