REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Seorang jenderal Israel yang membantu menghancurkan program nuklir Irak dan Suriah mengakui bahwa, tidak mudah menghancurkan program nuklir Iran. Jenderal Amos Yadlin dalam wawancara dengan CNBC yang diterbitkan pada Sabtu (17/4) menjelaskan, menangani program nuklir Iran sangat berbeda dengan Irak dan Suriah.
Faktor pertama yang perlu diperhatikan adalah elemen kejutan. Selain itu, program nuklir Irak dan Suriah terletak di satu wilayah. Sementara program nuklir Iran telah dibentengi dan tersebar di sejumlah situs di seluruh negeri. Hal ini akan membuat upaya serangan terhadap program nuklir Iran menjadi jauh lebih kompleks.
Lebih lanjut, Yadlin menekankan bahwa badan-badan nuklir tersebut tidak memiliki intelijen yang memadai di semua situs. Beberapa di antara situs nuklir Iran dilaporkan tersembunyi di bawah tanah dan di daerah pegunungan.
"Iran telah belajar dari apa yang telah kami lakukan tetapi kami juga telah belajar dari apa yang telah kami lakukan dan sekarang kami memiliki lebih banyak kemampuan," ujar Yadlin dilansir Middle East Monitor, Selasa (20/4).
Pernyataan Yadlin muncul ketika pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden ingin menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA). Sejak AS keluar dari JCPOA dan menjatukan sanksi kepada Teheran pada 2018, Iran terus meningkatkan pengayaan uranium yang melampaui batas dan tidak sesuai dengan kesepakatan nuklir.
Iran akan menghentikan aktivitas nuklinya jika AS mencabut seluruh sanksi yang menjerat perekonomian mereka. Sementara AS meminta Iran untuk menghentikan aktivitas nuklir mereka terlebih dahulu sebelum pencabutan sanksi.
"Kesepakatan pertama terbukti menjadi masalah, lihat seberapa cepat mereka bergerak," kata Yadlin.
Mengacu pada langkah Iran yang memperkaya uranium hingga kemurnian 60 persen, Yadlin mengatakan, Iran memiliki uranium yang cukup untuk menghasilkan bom atom. Diketahui untuk membuat bom atom diperlukan pengayaan uranium sebesar 90 persen. "Mereka bisa memiliki cukup uranium yang diperkaya untuk menghasilkan dua atau tiga bom dengan cepat," ujar Yadlin.
Yadlin mengatakan, hanya satu pilihan yang dapat dilakukan Israel untuk menyerang dan menghancurkan program nuklir Iran. Menurut Yadlin, opsi tersebut yaitu mendorong perjanjian yang lebih kuat antara Iran dan penandatangan kesepakatan nuklir, menggunakan sanksi dan diplomasi untuk terus menekan Teheran. Selain itu juga menggunakan serangan rahasia dan tindakan klandestin seperti serangan siber.
Jenderal Amos Yadlin adalah salah satu pilot yang berpartisipasi dalam pemboman pembangkit listrik tenaga nuklir Irak pada Juni 1981
Dia ikut ambil bagian dalam 'Operasi Opera'. Saat menjabat sebagai kepala intelijen militer Israel 16 tahun kemudian pada 2007, dia juga membantu merancang 'Operasi Orchard' yang menargetkan dan menghancurkan pembangkit listrik tenaga nuklir Suriah.