Jumat 23 Apr 2021 21:20 WIB

WHO: Negara Miskin Belum Dapat Akses Adil untuk Vaksin

Lebih dari 81 persen vaksin Covid-19 diberikan ke negara-negara berpenghasilan tinggi

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Vaksin Covid 19 (ilustrasi)
Foto: Flickr
Vaksin Covid 19 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA – Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan negara-negara miskin masih belum memperoleh akses adil dan setara terhadap vaksin. Hal itu diungkapkan saat peringatan tahun pertama berdirinya Covax.

“Hampir 900 juta dosis vaksin telah diberikan secara global, tetapi lebih dari 81 persen telah diberikan ke negara-negara berpenghasilan tinggi atau menengah ke atas, sementara negara-negara berpenghasilan rendah hanya menerima 0,3 persen,” kata Ghebreyesus dalam sebuah laporan yang dirilis pada Jumat (23/4).

Baca Juga

Itu bukan kali pertama Ghebreyesus menyoroti ketidakadilan dalam distribusi vaksin. Insiatif Covax yang dipimpin WHO sejauh ini telah mengirimkan 40,5 juta dosis vaksin Covid-19 ke 118 negara. Covax, yang dikelola bersama Gavi Vaccine Alliance, mengatakan ia berusaha meningkatkan pasokan vaksin untuk negara-negara miskin dari produsen baru.

Hal itu bertujuan mengurangi masalah pasokan vaksin AstraZeneca dari India. Sejumlah negara diketahui teah memutuskan menangguhkan dan membatasi penggunaan vaksin yang dikembangkan bersama Universitas Oxford tersebut. Hal itu terkait dengan penemuan kasus pembekuan darah setelah penggunaan AstraZeneca.

Kelompok Penasihat Strategis Ahli Imunisasi WHO telah memperbarui panduan penggunaan vaksin AstraZeneca pada Kamis. Mereka memasukkan sindrom pembekuan darah langkah sebagai tindakan kehati-hatian.

Keputusan tersebut diambil  berdasarkan data baru yang terus muncul melalui uji klinis dan pemantauan vaksinasi di seluruh dunia. Dalam panduan terbarunya, WHO menyatakan trombosis dengan sindrom trombositopenia, yakni kondisi pembekuan darah langka dikombinasikan dengan jumlah trombosit yang rendah, telah dilaporkan antara empat dan 20 hari setelah pemberian vaksin AstraZeneca.

Dikatakan bahwa "hubungan biasa" antara vaksin AstraZeneca dan sindrom tersebut dianggap mungkin. Penyelidikan lebih lanjut pun sedang berlangsung. "Namun, penilaian risiko-manfaat mungkin berbeda dari satu negara ke negara lain, dan negara-negara harus mempertimbangkan situasi epidemiologis mereka, risiko tingkat individu dan populasi, ketersediaan vaksin lain dan pilihan alternatif untuk risiko," kata Kelompok Penasihat Strategis Ahli Imunisasi WHO, dikutip laman United Press International.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement