REPUBLIKA.CO.ID, CAPE TOWN -- Sebuah studi di Afrika Selatan yang akan melakukan evaluasi di lapangan mengenai vaksin untuk mencegah infeksi virus corona jenis baru (Covid-19) dari Johnson & Johnson dilanjutkan kembali pada Rabu (25/4). Sebelumnya, kasus efek samping berupa pembekuan darah oleh penerima vaksin Covid-19 dari Johnson & Johnson terjadi, membuat Afrika Selatan memutuskan untuk menangguhkan peluncuran.
Badan kesehatan Amerika Serikat (AS) juga merekomendasikan untuk menghentikan penggunaan atas masalah yang jarang terjadi ini. Selama jeda, telah ditetapkan bahwa ada satu dari sejuta kemungkinan pembekuan terjadi setelah vaksinasi. Karena itu, Kementerian Kesehatan Afrika Selatan mengatakan regulator kesehatan di seluruh dunia telah merekomendasikan penggunaan suntikan Johnson & Johnson secara terus menerus.
Regulator lokal SAHPRA, Dewan Riset Medis Afrika Selatan dan kementerian kesehatan telah bekerja untuk memastikan ada penilaian pra vaksinasi yang intensif dan pemantauan pascavaksinasi ketika studi Johnson & Johnson dilanjutkan. Pekan lalu, otoritas kesehatan negara itu menyetujui penggunaan vaksin sekali pakai Johnson & Johnson.
Pemerintah Afrika Selatan juga dijadwalkan menerima batch pertama dari dosis komersial vaksin Johnson & Johnson pada akhir bulan ini. Kesepakatan dengan perusahaan tersebut adalah bahwa Afrika Selatan mendapatkan hingga 31 juta dosis.
Selain itu, Pemerintah Afrika Selatan juga mempertimbangkan tambahan 10 juta dosis vaksin Covid-19 dari Pfizer. Setidaknya 30 juta suntikan dari vaksin dua dosis yang dikembangkan perusahaan-perusahaan tersebut telah diamankan oleh negara.
Dengan kesepakatan Johnson & Johnson dan Pfizer, Afrika Selatan memiliki cukup vaksin untuk lebih dari 40 juta orang, dari total populasi sekitar 60 juta. Negara itu juga telah melakukan pembayaran di muka untuk skema distribusi vaksin global COVAX.
Afrika Selatan adalah negara yang paling parah terpukul di benua Afrika karena Covid-19. Terlebih, di wilayah ini ada varian baru dari virus yang lebih menular, yang disebut 501Y.V2.
Kampanye vaksinasi di Afrika Selatan Pertamanan kali dimulai pada Februari menggunakan produk dari AstraZeneca. Namun, otoritas negara itu menunda penggunaannya pasca uji coba yang dilakukan menunjukkan bahwa vaksin yang dikembangkan bersama Universitas Oxford ini memiliki perlindungan minimal serhada varian 501Y.V2.