India saat ini merupakan negara dengan peningkatan kasus COVID-19 terbesar di dunia. Dalam sepekan terakhir kasus hariannya bisa melebihi angka 300 ribu orang.
Ada sejumlah mahasiswa asal Indonesia sedang belajar di sana dengan sebagian atas biaya sendiri dan yang lainnya mendapat beasiswa dari Pemerintah India.
Lantas bagaimana kondisi mereka di India, saat virus corona dilaporkan merenggut korban jiwa setiap empat menit?
ABC Indonesia berbicara dengan dua orang diantaranya, yaitu Fikri, mahasiswa S1 yang sekarang menjadi Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di India, serta Anggy Eka Pratiwi, mahasiswi S3 yang baru tiba tiga bulan lalu untuk melanjutkan pendidikan di kota Jodphur di negara bagian Rajashtan.
Peningkatan penularan selama beberapa pekan terakhir terjadi merata di seluruh India, dan tampak sekali di kota Jodphur, negara bagian Rajashtan, di mana Anggy Eka Pratiwi sekarang tinggal.
Anggy, usia 25 tahun, baru tiga bulan tiba kembali ke India untuk melanjutkan pendidikan doktoralnya di Indian Institute of Technology.
"Saya memutuskan kembali ke India untuk mengikuti kegiatan akademik langsung di kampus, karena susah sekali mengikuti pelajaran lewat online," kata Anggy dalam percakapan dengan wartawan ABC Sastra Wijaya, Selasa kemarin (27/4/2021).
Anggy sebelumnya sudah pernah tinggal di India ketika menyelesaikan pendidikan S2 di kota Gujarat.
Ia mendapat beasiswa dari Pemerintah India untuk menyelesaikan pendidikan di bidang Ilmu Komputer dan Teknik.
Anggy mengatakan ia memutuskan datang ke India di bulan Januari lalu, saat situasinya relatif lebih tenang dan jumlah kasus COVID-19 yang menurun.
Ia adalah satu dari sekitar 40 mahasiswa asal Indonesia yang sekarang masih bertahan di India dari keseluruhan sekitar 70-80 orang yang berstatus mahasiswa Indonesia di India.
"Keadaan di kota sangat sepi sekarang karena adanya penerapan lockdown dari pemerintah, namun di kampus keadaan normal seperti biasa," kata Anggy yang tinggal di hostel di kampusnya.
Kota Jodphur dengan penduduk sekitar satu juta orang sedang memberlakukan 'lockdown' sampai 2 Maret.
"Beberapa hostel di kampus juga ditutup karena mahasiswa yang positif terkena kasus," ujarnya.
Karena itu, Anggy sekarang memutuskan untuk tidak melakukan banyak kegiatan, baik kegiatan pribadi maupun akademik, walau di dalam kampus salah satu universitas terbaik di India ini sudah dilakukan berbagai pengamanan.
"Saya sekarang hanya di kamar saja. Biasanya kami makan di ruang makan bersama di kampus. Sekarang saya hanya mengambil makanan."
"Kami sebenarnya harus bekerja di lab dengan sekitar 20 mahasiswa asal India, namun saya khawatir sehingga saya memutuskan sementara tidak ikut dulu," kata Anggy lagi.
Anggy khawatir karena merasa rekan-rekan mahasiswa lainnya tidak berperilaku mengikuti protokol kesehatan dengan ketat.
"Beberapa orang saya lihat seperti tidak peduli dengan adanya wabah."
"Mereka seperti tidak takut mati sama sekali," kata Anggy yang menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Sultan Agung di Semarang tersebut.
Tapi Anggy mengatakan dia tidak menyesal berada di India saat ini, karena dia masih bisa melanjutkan pendidikan dan hidup dari beasiswa yang didapatkannya.
"Beberapa teman yang juga mendapat beasiswa menyesal, karena belum bisa datang sehingga dana beasiswanya belum turun."
Belajar sejarah Islam di India
Yang juga masih bertahan di India adalah Fikri asal Provinsi Banten dan sekarang menempuh pendidikan S1 di jurusan Sejarah Islam di Aligarh Muslim University.
Fikri sudah berada di India selama dua tahun terakhir.
Kota Aligarh terletak sekitar 140 km dari New Delhi dan memiliki penduduk sekitar 1,2 juta orang.
Sekitar 46 persen warganya adalah Muslim, sehingga menjadi salah satu kota yang dituju oleh mahasiswa internasional untuk belajar Islam.
"Dalam dua minggu terakhir, keadaan pribadi saya sehat, namun karena keadaan lingkungan di India, saya pribadi waspada dikarenakan tingginya angka penyebaran di India," kata Fikri kepada ABC Indonesia.
"Karena bulan Ramadan, di pasar masih ada penumpukan massa terutama di sore hari."
"Sekarang sudah diberlakukan lockdown sampai tangggal 2 Mei, di mana toko-toko buka jam 11 siang dan tutup jam 8 malam."
Dengan seluruh perkuliahan di kampusnya dilakukan lewat daring, Fikri sangat membatasi kegiatannya di luar rumahnya, yang ia tinggali bersama mahasiswa asal Aceh dan Medan.
"Kami tentu khawatir. Maka dari itu, kami tidak keluar rumah kecuali ada keperluan penting seperti membeli bahan sembako dan obat obatan," kata Fikri lagi.
Tidak seperti Anggy yang mendapat beasiswa dari pemerintah India, Fikri belajar atas biaya sendiri.
Menurut perhitungannya, secara keseluruhan biaya pendidikan dan biaya hidup sehari-hari di India tidak berbeda dibandingkan di Indonesia.
Fikri mengatakan walau sekarang semua kegiatan kuliah dilakukan lewat internet, dia tidak memutuskan pulang tahun lalu karena khawatir tidak bisa kembali lagi ke India.
"Waktu itu karena penerbangan lebih sedikit, harga tiket pesawat naik tiga kali lipat. Saya juga khawatir kalau sudah pulang ke Indonesia tidak bisa kembali lagi ke sini."
"Beberapa teman lain pulang karena permintaan orang tua mereka," kata Fikri yang berasal dari Banten tersebut.
Mengenai alasan memilih India sebagai tempat belajar, Fikri mengatakan Aligarh University memiliki sumber informasi yang banyak mengenai Islam.
"Referensi di sini cukup, perpustakaan lengkap dari sisi buku.
Kondisi pandemi COVID-19 di India saat ini mengkhawatirkan dan menjadi sorotan internasional.
Tapi Fikri mengatakan dia tidak merasa terlalu khawatir, karena sebelumnya sudah menikmati keberadaaanya di negara itu.
"Tahun lalu juga sudah kuliah online. Di musim liburan semester saya sempat pergi ke beberapa kota untuk berwisata seperti ke Simla, Delhi, Lucknow."
"Yang mengkhawatirkan sekarang adalah ketika lockdown dibuka tanggal 2 Mei. Untuk sementara saya sekarang hanya berkegiatan di dalam rumah saja, belajar dan juga berorganisasi lewat PPI," kata Fikri yang datang di bulan Agustus tahun 2019 tersebut.
Menurut keterangan Departemen Kesehatan India sudah ada setidaknya 2.771 orang yang meninggal dalam 24 jam terakhir.
Artinya kematian di India sudah mencapai 197 ribu orang, atau berada di peringkat keempat korban terbesar karena COVID-19 di dunia, setelah Amerika Serikat, Brasil, dan Meksiko.
Karena sebagian besar jenazah harus dikremasi sesuai dengan tradisi Hindu, Pemerintah India kini sudah diminta untuk menebang pohon dari taman-taman di kota untuk dijadikan kayu bakar guna membakar jenazah.