Sepasang kekasih Stanislas Niyomwungeri dan Jacinta Murayire lahir dan dibesarkan di desa yang sama di provinsi selatan Rwanda. Stanislas berasal dari suku Hutu, sedangkan Jacinta adalah seorang Tutsi.
Sejarah kelam Rwanda tahun 1994, ekstremis Hutu membantai sekitar satu juta warga etnis Tutsi. Ayah Stanislas, Silas Bihiza, membunuh paman dari pihak ayah Jacinta. Bihiza kemudian dihukum atas pembunuhan tersebut dan menjalani hukuman lebih dari 10 tahun penjara.
Seiring berjalannya waktu, kondisi mulai membaik. Namun, kemarahan itu kembali muncul tatkala Jacinta memberitahu keluarganya bahwa dia jatuh cinta pada Stanislas.
"Ketika saya memutuskan untuk tinggal bersamanya, kebencian keluarga semakin kuat," kata Jacinta kepada DW. "Keluarga saya tidak ingin berurusan dengan saya," katanya. "Setiap kali saya mengunjungi salah satu anggota keluarga saya, mereka akan memukuli atau meludahi wajah saya."
"Setiap kali saya mengunjungi ayah saya, dia akan sangat marah dan meludahi saya," kata Jacinta. "Saya mulai berharap bahwa saya tidak perlu melihatnya lagi. Jadi kami memutuskan untuk pindah dari lingkungan keluarga saya."
Cinta mengalahkan kebencian
Meski keluarga Jacinta menolak mentah-mentah hubungan mereka, Stanislas mengatakan itu tidak akan mempengaruhi rasa cintanya terhadap sang kekasih. "Konflik antara ayah kami tidak ada habisnya, dan karena kami pikir konflik ini tidak akan ada akhirnya, kami memutuskan untuk menciptakan kehidupan bahagia kami sendiri sebagai pasangan," kata Stanislas kepada DW.
Setelah ayah Stanislas dibebaskan dari penjara, dia bertekad untuk berdamai dengan ayah Jacinta, Valence Rukiriza. Secara bertahap, mereka mulai menebus kesalahan.
"Saya mulai mendekatinya perlahan dan hati-hati. Saya berusaha hari demi hari dan akhirnya kemarahan dan kebencian itu mulai berkurang," ucap Silas.
"Orang-orang di komunitas senang dengan kenyataan ini," kata Silas.
Perubahan sikap
Rukiriza mengaku sudah lama menentang hubungan anaknya, tetapi saat ini dia mulai menerimanya. "Aku tidak mengakuinya. Ibunya tidak sependapat denganku tentang itu, aku tidak ingin mendengar apapun tentang hubungan itu," kata Rukiriza.
"Namun, akhirnya aku sadar. Kami menyelenggarakan upacara pernikahan secara tradisional dan itu berlangsung dengan sangat baik."
Kisah Stanislas dan Jacinta mewujudkan ungkapan bahwa "cinta mengalahkan segalanya."
Ketika Rwanda memperingati 30 tahun genosida pada tahun 2024 mendatang, generasi muda negara itu tampaknya akan memainkan peranan besar dalam proses "penyembuhan luka konflik masa lalu."
(ha/gtp)