Kamis 29 Apr 2021 17:12 WIB

Hamas Tolak Gagasan Penundaan Pemilu Palestina

Ada opsi menunda pemilu mengingat belum ada kepastian pencoblosan di Yerusalem Timur

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
 FILE - Dalam file foto 25 Januari 2006 ini, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, memberikan suara dalam pemilihan Parlemen Palestina di markas besarnya di kota Ramallah, Tepi Barat. Ketika terakhir kali Palestina mengadakan pemilu 15 tahun lalu,.
Foto: AP/Muhammed Muheisend
FILE - Dalam file foto 25 Januari 2006 ini, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, memberikan suara dalam pemilihan Parlemen Palestina di markas besarnya di kota Ramallah, Tepi Barat. Ketika terakhir kali Palestina mengadakan pemilu 15 tahun lalu,.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Hamas telah menolak gagasan untuk menunda pemilihan umum Palestina. Pernyataan ini muncul akibat spekulasi Presiden Palestina Mahmoud Abbas akan menunda pemilu dengan alasan perselisihan mengenai pemungutan suara di Yerusalem timur.

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Rabu (28/4) malam, Hamas mengatakan pemungutan suara adalah hak nasional yang fundamental. Pemungutan suara harus dilakukan di Yerusalem timur, tetapi menolak gagasan bahwa itu membutuhkan izin Israel.

Baca Juga

Hamas pun meminta kepemimpinan untuk mengeksplorasi cara-cara memaksa pemilihan di Yerusalem tanpa izin atau koordinasi dengan pendudukan. Pernyataan itu mengeluarkan peringatan terselubung kepada Abbas, meskin tanpa menyebut namanya. "Hamas tidak akan menjadi pihak yang menunda atau membatalkan dan tidak akan memberikan perlindungan," ujar kelompok tersebut.

Hamas merasa memiliki peluang baik  dalam pemilihan parlemen 22 Mei karena perpecahan yang semakin meluas di dalam kubu Fatah. Memanfaatkan masalah sensitif pemungutan suara di Yerusalem timur dapat menjadi dalih bagi Abbas untuk membatalkan pemilu Palestina pertama dalam 15 tahun.

Israel belum mengumumkan keputusan akan mengizinkan atau tidak pemungutan suara di Yerusalem timur. Namun, negara itu telah menyatakan keprihatinan tentang kekuatan Hamas yang semakin meningkat. Israel dan negara-negara Barat memandang Hamas sebagai kelompok teroris dan kemungkinan besar akan memboikot pemerintah Palestina yang melibatkan kelompok tersebut.

Israel merebut Yerusalem timur bersama dengan Tepi Barat dan Gaza dalam perang 1967. Negara itu mencaplok Yerusalem timur dalam sebuah langkah yang tidak diakui secara internasional dan mengeklaim seluruh kota sebagai ibu kotanya. Israel juga melarang Otoritas Palestina beroperasi di sana. Palestina menganggap Yerusalem timur sebagai ibu kota mereka.

Menurut perjanjian perdamaian sementara yang dicapai pada 1990-an, sekitar 6.000 warga Palestina di Yerusalem timur menyerahkan surat suara melalui kantor pos Israel. Sedangkan, 150  ribu lainnya dapat memberikan suara dengan atau tanpa izin Israel. Peraturan tersebut telah ditolak oleh Hamas.

Fatah mengatakan, pemilihan tidak dapat diadakan tanpa Israel memberikan izin bagi penduduk Yerusalem timur untuk memilih. Abbas diperkirakan akan membuat keputusan akhir setelah pertemuan dengan para pemimpin Hamas dan faksi lain Kamis (29/4) malam.

Abbas yang berusia 85 tahun dan tokoh-tokoh Fatah lingkaran dalamnya, sekarang berusia 60-an hingga 70-an, telah mendominasi Otoritas Palestina selama hampir dua dekade. Mereka telah gagal untuk memajukan harapan Palestina akan kenegaraan, menyembuhkan keretakan internal 13 tahun dengan Hamas, mencabut blokade Israel-Mesir di Gaza, atau memberdayakan generasi pemimpin baru.

Pemilu terakhir yang diadakan pada  2006 menempatkan Hamas menang telak setelah berkampanye sebagai kelompok yang tidak diunggulkan dan tidak ternoda oleh korupsi. Hal itu memicu krisis internal yang memuncak antara Hamas dan Fatah.

Popularitas Hamas telah jatuh pada tahun-tahun berikutnya, karena kondisi di Gaza terus memburuk. Namun, kelompok ini tetap bersatu dan disiplin bahkan ketika Fatah telah terpecah menjadi tiga kelompok parlemen yang bersaing.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement