Ahad 02 May 2021 16:15 WIB

Dari Sorong ke Hobart: Pemodelan Terbaru Ungkap Jalur Migrasi Orang Aborigin

Dari Sorong ke Hobart: Pemodelan Terbaru Ungkap Jalur Migrasi Orang Aborigin

Rep: Dana Morse/ Red:
Dari Sorong ke Hobart: Pemodelan Terbaru Ungkap Jalur Migrasi Orang Aborigin
Dari Sorong ke Hobart: Pemodelan Terbaru Ungkap Jalur Migrasi Orang Aborigin

Enam puluh ribu tahun silam, ketika wombat seukuran badak dan kanguru pemakan daging masih hidup di Australia, orang aborigin baru saja tiba di sini.

Orang Australia pertama diperkirakan tiba ketika benua ini masih berupa daratan yang jauh lebih luas, ketika permukaan laut lebih rendah, menghubungkan Pulau Papua dan Pulau Tasmania, dikenal sebagai Benua Sahul.

Penelitian terbaru dari Centre of Excellence for Australian Biodiversity and Heritage di bawah Australian Research Centre menunjukkan jalur yang kemungkinan dilewati oleh orang Aborigin purba saat mereka melintasi benua ini.

Profesor Corey Bradshaw, salah satu peneliti yang memetakan rute tersebut, menjelaskan penelitian ini ingin mengungkap bagaimana orang pertama kali tiba di Australia.

"Kami ingin memahami bagaimana mereka sampai di sini, dan juga apa yang mereka lakukan setelah mereka tiba," katanya kepada ABC.

Pemodelan tersebut mengambil data dari arkeolog, antropolog, ekologi, ahli genetika, ahli iklim, geomorfologi dan ahli hidrologi, dan menganalisis informasi untuk mendapatkan rute yang paling mungkin dilewati.

Jalur 'Super-highways' 

Hipotesis pemodelan ini menyebutkan bahwa orang Australia pertama tiba di pesisir pantai Australia Barat, di wilayah Kimberley sekarang, sekitar 60 ribu tahun silam, dan dalam 6.000 tahun mereka telah menetap di seluruh benua, dari ujung utara tropis hingga ke Tasmania di selatan.

"Orang mungkin berhasil bermigrasi dari Afrika  dan dalam 10–15 ribu tahun kemudian, mereka tiba di Australia," jelasnya.

Jalan raya "super highways" ini, kata Prof Corey, memiliki kemiripan yang mencolok dengan jalan raya dan jalur ternak Australia saat ini.

"Fakta bahwa mereka dapat menetap di seluruh benua ini dengan cepat dan membangun hubungan jangka panjang menunjukkan adanya sejarah lisan turun-temurun selama puluhan ribu tahun," katanya.

"Jalan raya 'super highways' yang muncul dalam pemodelan tampaknya cocok dengan banyak rute lama untuk ternak dan jalur perdagangan Aborigin yang kita kenal dari abad ke-19 misalnya," jelas Prof Corey.

"Banyak penjelajah Eropa, mereka yang cukup pintar berbicara dengan penduduk setempat tentang ke mana harus pergi dan bagaimana bertahan hidup, saya membayangkan pengetahuan itu diturunkan sejak lama," tambahnya.

Data cocok dengan cerita rakyat

Meskipun pemodelan ini menunjukkan rute yang paling mungkin berdasarkan data yang tersedia, namun tidak pasti, sehingga memerlukan kolaborasi dengan masyarakat Aborigin untuk mengisi kekosongan pengetahuan.

Dengan pengalaman puluhan tahun sebagai sejarawan dan arkeolog Aborigin, Profesor Laureate Lynette Russell dari Universitas Monash menjelaskan sains dan cerita rakyat memiliki peran penting dalam mengungkap sejarah Aborigin.

"Tidak ada seorang pun yang memiliki sejarah lisan berusia 70 ribu tahun. Namun bukan berarti tidak ada cerita mendalam yang berhubungan dengan tempat ini," kata Prof Lynette.

“Orang (Aborigin) berbicara tentang itu, ketika tanah ini dibuat, ketika nenek moyang tiba, ketika pencipta menciptakan tanah ini," ujarnya.

"Dalam cerita-cerita rakyat itu, terutama dalam lagu-lagu dan syair-syair, kita mungkin menemukan informasi yang cocok, tapi juga mungkin bertentangan dengan pendekatan para ilmuwan," kata Prof Lynette.

Ia menyebut peta baru ini hanyalah titik awal dan bukan fakta yang pasti dalam sejarah Aborigin.

Namun peta ini penting, kata Prof Lynette, karena memberikan kita perangkat untuk memahami apa yang terjadi di masa silam.

Kedua peneliti sepakat perlunya berkolaborasi dengan masyarakat Aborigin untuk menyempurnakan pemodelan ini.

"Masyarakat Aborigin adalah mitra dalam penelitian. Mereka bukan pemangku kepentingan, kami pun bukan pemangku kepentingan," kata Prof Lynette.

"Kami merupakan mitra. Kami mengerjakan materi dari mereka di tanah mereka. Itu warisan mereka, dan kami sebagai peneliti, apakah Pribumi atau bukan, haruslah menghormati tradisi, kebiasaan, dan harapan mereka," ujarnya.

Hal itulah yang akan dilakukan tim Prof Corey Bradshaw selanjutnya.

"Kami ingin memperluas peta ini hingga ke periode (migrasi) selanjutnya," katanya.

Tim peneliti akan membandingkan perbedaan dalam cerita rakyat antar lokasi berbeda, atau persamaan atau perbedaan linguistik dan kesamaan dalam seni cadas di antara suku-suku bangsa Aborigin.

Peneliti selanjutnya akan menggunakan semua elemen budaya yang berbeda ini dalam membangun asosiasi mendalam dengan pengetahuan masyarakat Aborigin yang berbeda-beda.

"Dengan adanya unsur budaya semacam itu, sekaligus memvalidasi prediksi ilmiah, merupakan perkawinan nyata antara pengetahuan Pribumi dan pengetahuan Barat," ujar Prof Corey Bradshaw.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement