REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Ribuan penduduk desa etnis Karen di Myanmar siap untuk menyeberang ke Thailand, Jumat (30/4). Perpindahan ini dapat terjadi jika pertempuran meningkat antara tentara Myanmar dan milisi Karen.
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) mengatakan dari sekitar 56.000 orang telah mengungsi akibat konflik di Myanmar tahun ini. Sekitar 40.000 orang telah mengungsi akibat konflik di Myanmar timur sementara 11.000 lainnya mengungsi akibat pertempuran di utara dan 5.800 di timur laut.
Jaringan Dukungan Perdamaian Karen mengatakan, ribuan penduduk desa berlindung di sisi Myanmar dari Salween dan mereka akan melarikan diri ke Thailand jika pertempuran meningkat. "Dalam beberapa hari mendatang, lebih dari 8.000 orang Karen di sepanjang sungai Salween harus mengungsi ke Thailand. Kami berharap tentara Thailand akan membantu mereka melarikan diri dari perang," kata kelompok itu dalam sebuah posting Facebook.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand mengatakan, 2.267 warga sipil telah menyeberang ke Thailand pada Jumat sejak konflik terbaru dimulai. Lebih banyak lagi yang mengungsi di hutan di sisi Myanmar.
Penduduk dua desa Thailand yang dekat dengan perbatasan juga telah melarikan diri dari rumah mereka. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Tanee Sangrat, 220 orang masih mencari perlindungan lebih dalam di wilayah Thailand untuk keselamatan.
"Situasi telah meningkat sehingga kami tidak bisa kembali," kata Warong Tisakul yang merupakan warga desa Thailand dari Mae Sam Laep, sebuah pemukiman, sekarang ditinggalkan, di seberang pos tentara Myanmar yang diserang minggu ini.
Penduduk desa di kedua sisi perbatasan telah diusir dari rumah mereka. "Orang-orang mengatakan orang Burma akan datang dan menembak kami, jadi kami melarikan diri ke sini," kata Chu Wah, seorang warga desa Karen yang menyeberang ke Thailand bersama keluarganya minggu ini dari kamp pengungsian Ee Thu Hta di Myanmar.
Milisi Karen dan tentara Myanmar bentrok di dekat perbatasan Thailand dalam pertempuran paling sengit di daerah itu dalam 25 tahun. Pertempuran itu terjadi setelah kudeta militer yang menggulingkan pemerintah terpilih yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi pada 1 Februari.