REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Pemimpin Hong Kong Carrie Lam mengatakan, pemerintah sedang mengerjakan undang-undang terkait penyebaran hoaks atau berita palsu, Selasa (4/5). Undang-undang ini dibuat untuk mengatasi informasi yang salah, ujaran kebencian dan kebohongan.
Berbicara dalam konferensi pers mingguannya, Lam mengatakan pemerintah sedang melakukan riset lebih jauh mengenai penyebaran berita palsu. Tetapi Lam menambahkan, dia tidak mengetahui jadwal pasti untuk peluncuran undang-undang tersebut.
"Undang-undang berita palsu membutuhkan banyak penelitian, terutama (tentang) bagaimana pemerintah luar negeri menangani tren penyebaran informasi yang tidak akurat, misinformasi, kebencian, dan kebohongan di media sosial yang semakin mengkhawatirkan," kata Lam.
"Kami akan terus menjadi sangat serius tentang masalah ini karena kerusakan yang ditimbulkannya pada banyak orang," kata Lam menambahkan.
Perombakan besar-besaran atas kantor berita Radio Televisi Hong Kong (RTHK)
secara luas dilihat sebagai sinyal bahwa, garis merah pemerintah mulai melingkupi jurnalisme. Belum lama ini RTHK dipimpin oleh seorang birokrat baru yang tidak memiliki pengalaman media.
Komentar Lam muncul sehari setelah RTHK melaporkan bahwa, mereka tidak akan memperbarui kontrak reporternya yaitu Nabela Qoser. Qoser dikenal karena melakukan interogasi terhadap Lam dan pejabat lainnya selama protes anti-pemerintah 2019. RTHK juga mulai menghapus beberapa arsipnya dari Youtube dan saluran media sosial.
Wartawan RTHK lainnya, Bao Choy, dinyatakan bersalah oleh pengadilan pada bulan lalu. Dia dinyatakan bersalah karena mengakses catatan publik untuk film dokumenter, yang menceritakan tentang penanganan polisi terhadap pengunjuk rasa, reporter dan pengamat pro-demokrasi pada 2019. Film dokumenternya memenangkan penghargaan pers lokal.
Reporters Without Borders menempatkan Hong Kong di peringkat ke-80 dari 180, dalam hal kebebasan pers. Peringkat tersebut merosot tajam selama dekade terakhir.