REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Batas waktu Benjamin Netanyahu untuk membentuk pemerintahan baru Israel berakhir pada Rabu (5/5) pagi. Perdana menteri terlama di negara itu gagal memecahkan lebih dari dua tahun kebuntuan politik.
Dengan telah lewatnya tenggat waktu tengah malam, Presiden Israel Reuven Rivlin dapat menugaskan pembentukan koalisi kepada anggota parlemen lainnya. Aturan itu secara luas diharapkan membuat Yair Lapid yang partai sentrisnya, Yesh Atid, menempati posisi kedua setelah partai Likud, pendukung Netanyahu dalam pemungutan suara 23 Maret.
Blok Netanyahu yang terdiri atas partai-partai sayap kanan dan agama Yahudi gagal memenangkan mayoritas. Namun, kondisi serupa dialami kubu yang bertujuan untuk menggulingkannya karena harus menyertakan saingan sayap kanannya serta lawan sayap kiri dan sayap tengah tradisional.
Kedua belah pihak telah meminta dukungan dari partai-partai yang mewakili sekitar 20 persen minoritas Arab Israel. Upaya itu berpotensi memberi mereka suara atas Kabinet untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade.
Kepala partai Yamina ultranasionalis, Naftali Bennett, telah muncul sebagai seorang penentu. Pria berusia 49 tahun itu telah menyuarakan preferensi untuk bergabung dengan Netanyahu, tetapi mengatakan akan mencari kemitraan dengan lawan perdana menteri untuk menghindari pemilihan kelima. Kesepakatan rotasi dengan Bennett dan Lapid akan bergantian sebagai perdana menteri juga telah diperdebatkan secara luas.
Sebagian besar kebuntuan berasal dari masalah hukum Netanyahu. Beberapa calon sekutu telah berjanji tidak akan melayani di bawah perdana menteri yang sedang diadili. Netanyahu sedang mengahadapi dugaan kasus korupsi yang dibantahnya.
Baca juga : Zidane: Madrid ke Semifinal Bukan karena Keajaiban
Jika calon baru yang dipilih oleh Rivlin gagal membentuk koalisi dalam 28 hari, presiden dapat meminta parlemen untuk menyetujui calon dalam waktu tiga minggu. Jika tidak bisa, Israel akan menggelar pemilu lagi.
"Kami 60 persen menuju pemilihan lain dan 40 persen menuju pemerintahan baru," ujar koresponden urusan politik radio publik Kan, Yoav Krakovsky.