REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Sekretaris Jenderal Asosiasi Turki-Muslim IGMG Bekir Altas menyampaikan keprihatinan atas meningkatnya kecenderungan Islamofobia yang didorong oleh kepentingan politik di Prancis.
Saat bersamaan Altas memuji Kota Strasbourg, timur laut Prancis atas penawaran EUR 2,5 juta yang diberikan kota itu untuk pembangunan masjid di sana. Berbicara kepada Anadolu Agency selama kunjungannya ke Strasbourg, kota Prancis dekat perbatasan Jerman, Altas juga menepis tuduhan dari para politisi yang ditujukan kepada IGMG.
Dia mengatakan bahwa pembangunan Masjid Sultan Eyup di Strasbourg, dekat perbatasan Jerman, akan terus berlanjut, meski penyelesaiannya membutuhkan tambahan EUR 8 juta (USD 9,6 juta). Total biaya pembangunan telah dipatok menjadi 30 juta euro (USD 36 juta).
Altas mengatakan bahwa organisasinya telah menerima sumbangan dari seluruh Eropa untuk pembangunan masjid ini, termasuk sumbangan bersejarah sebesar EUR2,5 juta euro (USD 3 juta) oleh Pemerintah Kota Strasbourg.
“Dengan langkah ini, secara khusus mereka menyatakan tidak ada diskriminasi antara komunitas Katolik, Protestan, Yahudi, dan Islam,” ujar dia.
Presiden Asosiasi Masjid Sultan Eyup, Eyup Sahin, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa pada Oktober 2020, mereka telah meminta bantuan keuangan dari Kota Strasbourg untuk pembangunan masjid dan pemerintah kota menerima permintaan ini pada Maret 2021.
Sahin mengatakan setelah langkah ini menimbulkan kontroversi, mereka memutuskan untuk menarik permintaan bantuan karena pemilu semakin dekat dan beberapa politisi telah mengubah masjid menjadi propaganda pemilu.
Dia mengatakan bahwa 70 persen pembangunan masjid telah selesai dan pembangunannya akan selesai dalam satu tahun. Altas juga mengatakan saat pemilihan presiden dijadwalkan di Prancis pada 2022, umat Islam tidak ingin masjid menjadi alat dalam konflik antara dua partai politik besar di negara itu.
Dia menyatakan bahwa penerapan "piagam prinsip" Islam di Prancis, yang mereka tolak untuk ditandatangani karena mengasingkan Muslim, adalah salah satu keputusan populis yang diambil oleh pemerintah Prancis.
“Negara tidak mencampuri urusan internal umat beragama sesuai dengan prinsip sekularisme.