Ketika Presiden Joe Biden menetapkan bahwa AS akan memangkas separuh emisi gas rumah kaca dari level tahun 2005 pada 2030 nanti, sembari mendesak Cina dan India untuk bertindak lebih, dia gagal meyakinkan pecinta lingkungan.
Potongan itu terasa besar, tapi nyatanya tidak menghentikan AS untuk melampaui batas emisi sesuai ukuran ekonomi seperti yang ditetapkan Perjanjian Paris 2015, menurut lembaga studi Climate Action Tracker.
Artinya meski sudah dikurangi separuh, jumlah emisi AS masih berada di zona merah yang memproyeksikan kenaikan suhu rata-rata Bumi di atas 2 derajat Celcius.
Fenomena ini digugat karena mencederai keadilan. Tidak hanya menyumbang emisi gas rumah kaca lebih banyak dari negara lain di dunia, AS juga punya dana paling tebal untuk menanggulangi krisis iklim.
Komitmen emisi AS hanya membantu mencapai jumlah potongan emisi yang "mendekati atau hanya sejengkal” dari yang dibutuhkan untuk membatasi kenaikan suhu di bawah 2 derajat Celcius, kata Andreas Geiges, peneliti Climate Analytics.
Bahkan tanpa menghitung jumlah emisi yang dibuat di masa lalu pun, pengurangan jejak karbon AS tidak mencukupi untuk proyeksi suhu di bawah 1,5 derajat Celcius yang lebih ambisius.
Ketika negara-negara di dunia merumuskan komitmen iklimnya menjelang konferensi COP26 pada November mendatang, politisi dan penggiat lingkungan ramai membicarakan "keadilan iklim.” Belakangan istilah ini giat diadopsi oleh peneliti atau muncul dalam retorika politik.
"Kami menuntut Anda berhenti menghukum negara di selatan (negara berkembang), dan komunitas hitam, cokelat atau masyarakat adat, melalui penjarahan lingkungan,” kata aktivis Meksiko, Xiye Bastida, saat berpidato di hadapan konferensi iklim yang digelar AS baru-baru ini.
"Solusi harus dibuat selaras dengan fakta bahwa keadilan iklim adalah keadilan sosial.”
Apa itu keadilan iklim?
Keadilan iklim mengakui bahwa mereka yang paling banyak menciptakan emisi, juga yang paling aman dari dampaknya terhadap iklim Bumi. Artinya negara-negara industri maju mengemban tanggung jawab lebih besar dalam perang melawan klim.
Tapi sejauh ini istilah itu masih jauh panggang dari api. "Kita semua menghadapi krisis iklim, tapi kita tidak bersama-sama,” tulis Guru Besar Filsafat di Universitas Georgetown, Olúfẹ́mi Táíwò, kepada DW, Maret lalu.
Setiap tahun, negara kaya menghasilkan 10 kali lipat emisi CO2 ketimbang negara miskin seperti India, atau 20 kali lipat ketimbang negara Afrika seperti Nigeria. Kesenjangan ini semakin lebar jika mengingat bahwa negara industri sudah lebih lama mengotori atmosfer Bumi.
Studi yang dirilis di jurnal Ilmiah, Lancet Planetary Health, September lalu, menyimpulkan negara industri maju bertanggungjawab atas 92% jumlah emisi CO2 di dunia yang melebihi batas aman konsentrasi atmosfer, yakni 350 ppm. Sementara negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan Timur Tengah, hanya bertanggungjawab atas 8% dari gas berlebih di atmosfer Bumi.
Studi itu mengurangi emisi total sebuah negara dengan jumlah ideal yang mencerminkan ukuran ekonominya. Dengan mengukur perubahan populasi, dan emisi dari komoditas yang diekspor ke luar negeri, para peneliti menyimpulkan bahkan Cina yang kini penghasil polusi CO2 paling besar sekali pun, hanya menghabiskan jatah emisinya.
"Hasilnya sangat mengejutkan,” kata Prakash Kshwan, Guru Besar Politik di Universitas Connecticut, AS, yang ikut menulis studi. "Ketimpangan seperti ini lah yang menyeret kita ke krisis iklim saat ini. Fenomena ini sulit dipercaya, tapi kita tidak banyak membicarakannya.”
Saat ini pun dampak perubahan iklim lebih terasa di negara berkembang, ketimbang negara maju. Di Asia, pemanasan global yang disebabkan emisi gas rumah kaca tidak hanya mengancam sumber air bersih bagi 1,5 miliar manusia di Asia Selatan, tetapi juga kehidupan warga di kawasan pesisir yang rentan oleh kenaikan permukaan air laut.
rzn/ts