Kamis 13 May 2021 14:45 WIB

Berbagai Cara China Kikis Islam di Xinjiang

Pemerintah China membantah menghancurkan masjid

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Sejumlah jurnalis asing memotret gedung perkantoran terpadu milik Pemerintah Kota Turban, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Jumat (23/4/2021). Pemerintah China membantah klaim asing berdasarkan citra satelit yang menyebutkan  bahwa gedung tersebut merupakan penjara bagi warga dari kelompok etnis minoritas Muslim Uighur.
Foto: ANTARA/M. Irfan Ilmie
Sejumlah jurnalis asing memotret gedung perkantoran terpadu milik Pemerintah Kota Turban, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Jumat (23/4/2021). Pemerintah China membantah klaim asing berdasarkan citra satelit yang menyebutkan bahwa gedung tersebut merupakan penjara bagi warga dari kelompok etnis minoritas Muslim Uighur.

REPUBLIKA.CO.ID, KASHGAR -- Tursunjan Mamat, seorang Muslim yang taat di wilayah Xinjiang China barat, mengatakan dia berpuasa pada Ramadhan tahun ini. Hanya saja, putrinya yang berusia delapan dan 10 tahun, tidak karena puasa tidak diizinkan untuk anak di bawah umur.

Etnis Uighur berusia 32 tahun itu tidak mengeluh, setidaknya tidak kepada sekelompok jurnalis asing yang dibawa ke rumahnya di luar kota Aksu oleh pejabat pemerintah. Dia memberikan deskripsi yang sebenarnya tentang cara agama dipraktikkan di bawah aturan yang ditetapkan oleh Partai Komunis China.

Baca Juga

"Anak-anak saya tahu siapa pencipta suci kita, tapi saya tidak memberi mereka pengetahuan agama yang mendetail. Setelah mereka mencapai usia 18 tahun, mereka dapat menerima pendidikan agama sesuai keinginan mereka sendiri," kata Tursunjan berbicara melalui penerjemah.

Pemerintah China mengadakan kunjungan lima hari ke Xinjiang pada April untuk sekitar selusin koresponden asing, bagian dari kampanye propaganda yang intens untuk melawan tuduhan pelecehan. Para pejabat berulang kali mendesak wartawan untuk menceritakan yang mereka lihat, bukan apa yang disebut China sebagai kebohongan politisi dan media Barat yang kritis.

Beijing mengatakan melindungi kebebasan beragama dan warga negara dapat menjalankan keyakinan selama mematuhi hukum dan peraturan. Dalam praktiknya, setiap aktivitas keagamaan harus dilakukan sesuai dengan batasan yang terlihat di hampir setiap pemberhentian di Xinjiang.

Contoh saja di sekolah dasar, kepala sekolah mengatakan puasa tidak dilakukan karena pemisahan agama dan pendidikan. Begitu pula di pabrik benang kapas, pekerja dilarang berdoa di tempat, bahkan di kamar asrama mereka.

"Di dalam lingkungan pabrik, dilarang. Tapi mereka bisa pulang, atau mereka bisa pergi ke masjid untuk salat. Asrama adalah tempat istirahat para pekerja. Kami ingin mereka istirahat dengan baik sehingga mereka bisa menjaga kesehatannya," kata manajer umum Aksu Huafu Textiles Co, Li Qiang.

Secara hukum, orang China diizinkan untuk menganut Islam, Budha, Taoisme, Katolik Roma, atau Protestan non-denominasi. Dalam praktiknya, ada batasannya. Pekerja bebas berpuasa, tetapi Li menegaskan, mereka diharuskan untuk menjaga tubuh mereka.

Para peneliti di lembaga think tank, Institut Kebijakan Strategis Australia, mengatakan dalam sebuah laporan tahun lalu bahwa masjid telah dirobohkan atau dirusak dengan penghapusan yang disengaja terhadap budaya Uighur dan Islam. Mereka mengidentifikasi 170 masjid yang hancur melalui citra satelit, sekitar 30 persen dari sampel yang mereka periksa.

Selain itu, pernyataan imam Masjid Id Kah, Mamat Jumam, menyatakan satu dekade lalu, 4.000 hingga 5.000 orang menghadiri shalat Jumat di masjid di kota bersejarah Jalur Sutra Kashgar. Sekarang hanya 800 hingga 900 yang melakukannya.

Mamat mengaitkan penurunan tersebut dengan perubahan alami dalam nilai-nilai, bukan kebijakan pemerintah. Dia mengatakan bahwa generasi muda ingin menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja daripada berdoa.

Pemerintah China pun membantah menghancurkan masjid dan tuduhan penahanan massal dan kerja paksa yang telah membuat tegang hubungan China dengan pemerintah Barat. Mereka mengatakan bahwa  telah menghabiskan banyak uang untuk memperbaiki masjid, melengkapi mereka dengan kipas angin, toilet siram, komputer, dan pendingin udara.

Klaim itu pun dikonfirmasi oleh pengurus Masjid Id Kah. Mamat mengucapkan terima kasih tentang kemurahan hati pemerintah yang telah merenovasi lembaga yang berusia lebih dari 500 tahun itu. "Tidak ada yang namanya pembongkaran masjid," kata Mamat.

Tapi, menurut warga Uighur yang lari ke Turki, Ali Akbar Dumallah, adegan-adegan pendukung tersebut sering ditampilkan ketika dibutuhkan. "Orang-orang tahu persis apa yang harus dilakukan, bagaimana berbohong, itu bukanlah sesuatu yang baru bagi mereka," katanya.

Dumallah, menyatakan, larangan pendidikan agama untuk anak di bawah umur berarti bahwa kaum muda tidak mendapatkan pengetahuan yang seharusnya didapatkan.

"Generasi berikutnya akan menerima pola pikir China. Mereka akan tetap disebut Uighur, tetapi pola pikir dan nilai-nilai mereka akan hilang," kata Dumallah.

 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement