Lonjakan infeksi virus corona di Taiwan membuat pulau itu kesulitan untuk mendapatkan vaksin. Persediaan 300.000 dosis vaksin yang mereka miliki mulai habis dengan hanya sekitar 1% dari 23 juta orang yang telah divaksinasi. Padahal Taiwan sempat digadang sebagai salah satu kisah sukses mitigasi COVID-19 di dunia.
Sejak masa awal pandemi corona, Taiwan telah menjadi model cara pengendalian pandemi dan kehidupan di sana telah berjalan hampir seperti biasa. Tidak ada lagi kebijakan penguncian, dan tidak ada rumah sakit yang kewalahan seperti terlihat di tempat lain. Semua ini berkat efektifnya pelacakan kasus dan penutupan perbatasan.
Namun selama seminggu terakhir, Taiwan telah melaporkan lebih dari 400 kasus domestik dari total 1.682 infeksi tercatat sejak pandemi dimulai. Secara keseluruhan, 12 orang telah meninggal karena COVID-19 di pulau itu.
Pembatasan baru yang lebih ketat pun untuk pertama kalinya diberlakukan di ibu kota Taipei karena pihak berwenang mengkhawatirkan peningkatan jumlah kasus infeksi.
Pemerintah setempat juga telah memerintahkan penutupan sekolah-sekolah yang akan dimulai pada Selasa (18/05). Perintah penutupan sekolah ini juga adalah yang pertama berlaku di Taiwan.
Kekurangan vaksin global
Taiwan memang telah memulai proses vaksinasi, namun hanya menerima sekitar 300.000 dosis suntikan, semuanya dari AstraZeneca Plc. Daerah ini juga mengalami kekurangan global meskipun telah memesan 20 juta dosis termasuk dari Moderna Inc.
Otoritas kesehatan pada minggu lalu telah berhenti memberikan vaksin kepada mereka yang tidak termasuk dalam daftar prioritas.
Duta besar de facto Taipei di Amerika Serikat, Hsiao Bi-khim, dalam sebuah komentar yang diterbitkan oleh kantor berita Taiwan, Central News Agency, pada hari Sabtu (15/05) mengatakan bahwa pihaknya telah mendesak Moderna untuk memastikan vaksin tiba sesuai jadwal sebelum akhir Juni.
"Harapan masyarakat kami akan (adanya) vaksin agak mendesak," ungkap Hsiao Bi-khim. Moderna dan AstraZeneca belum menanggapi permintaan untuk berkomentar.
Sementara badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk anak-anak (UNICEF) telah mendesak negara-negara kaya untuk mendonasikan kelebihan pasokan sebanyak 150 juta vaksin kepada negara lain yang memerlukannya, tanpa mengesampingkan target vaksin mereka sendiri.
Tujuh negara terkaya di dunia dapat membantu menutup kesenjangan vaksin dunia dengan berbagi hanya 20 persen dari stok mereka untuk bulan Juni, Juli, dan Agustus dengan skema COVAX untuk negara-negara miskin, demikian menurut sebuah studi oleh perusahaan asal Inggris, Airfinity.
"Dan mereka dapat melakukan ini sambil tetap memenuhi komitmen vaksinasi mereka untuk populasi mereka sendiri," kata direktur UNICEF Henrietta Fore.
Partai oposisi utama Taiwan, Kuomintang, telah menyerukan transparansi lebih lanjut tentang waktu kedatangan vaksin agar dunia juga memastikan bahwa pulau pembuat semikonduktor ini bisa mendapat bantuan prioritas.
"Pandemi Taiwan berhubungan dengan stabilitas rantai pasokan produk elektronik global," kata ketua Partai Kuomintang, Johnny Chiang, Minggu (16/05).
Tidak izinkan pemberian vaksin produksi Cina
Lebih lanjut, yang menjadi perhatian pemerintah Taiwan adalah pemerintah Cina, yang mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya sendiri dan memiliki antipati yang mendalam terhadap Presiden Taiwan Tsai Ing-wen yang dituding sebagai separatis.
Cina telah mengirimkan pasokan vaksin yang dikembangkan di dalam negeri ke seluruh dunia dan telah menawarkannya ke Taiwan melalui skema pembagian global COVAX. Namun hukum Taiwan tidak mengizinkan penggunaan vaksin Cina.
Seorang pejabat keamanan yang mengamati aktivitas Cina di pulau itu mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa dinas keamanan telah diberitahu adanya apa yang disebut sebagai "perang kognitif" yang digaungkan oleh Cina untuk "menciptakan kekacauan" dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah Taiwan dalam penanganan pandemi.
"Pesan-pesan yang mengkritik pemerintah sedang beredar di media sosial," kata sumber tersebut. Namun Kantor pemerintah Cina untuk urusan Taiwan tidak menanggapi permintaan komentar terkait hal ini.
ae/hp (Reuters, AP, AFP)