Senin 17 May 2021 18:39 WIB

Korban Sipil Serangan Israel di Jalur Gaza Meningkat

Setidaknya 198 orang meninggal dunia akibat agresi Israel di Jalur Gaza.

Rep: Puti Almas/ Red: Teguh Firmansyah
Roket diluncurkan dari Jalur Gaza menuju Israel, Senin, 10 Mei 2021.
Foto: AP Photo/Khalil Hamra
Roket diluncurkan dari Jalur Gaza menuju Israel, Senin, 10 Mei 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA CITY -- Serangan udara Israel di Jalur Gaza, Palestina, dilaporkan telah mengakibatkan setidaknya 198 orang meninggal dunia pada Senin (17/5). Korban di antaranya termasuk 58 anak-anak dan 35 perempuan.

Selain itu, 1.300 orang juga menjadi korban terluka. Militer Israel telah melancarkan serangan udara di Jalur Gaza sejar 10 Mei lalu, yang tak hanya korban jiwa, tetapi juga kerusakan dan kehancuran besar-besaran di seluruh wilayah kota terjadi.

Baca Juga

Pecahnya kekerasan terbaru antara Israel dan Palestina dimulai di Yerusalem Timur pada bulan lalu. Saat itu, warga Palestina bentrok dengan polisi Israel sebagai tanggapan atas ancaman penggusuran puluhan keluarga Palestina oleh pemukim Yahudi.

Situasi semakin memburuk saat polisi Israel menyerbu Masjid al-Aqsha di Kota Tua Yerusalem, yang merupakan situs suci ketiga bagi umat Islam. Ratusan jamaah yang kebanyakan adalah warga Palestina terluka dalam kejadian ini.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengisyaratkan bahwa perang dengan Hamas, faksi politik Palestina di Jalur Gaza, akan terus berlanjut. Pada Senin (17/5) pagi, babak baru serangan udara di sejumlah area wilayah itu diluncurkan dengan ledakan mengguncang bagian utara kota hingga selatan selama setidaknya 10 menit.

Dalam pidato yang disiarkan televisi, Netanyahu mengatakan serangan Israel terus berlanjut dengan kekuatan penuh dan akan memakan waktu. Israel ingin ‘memungut harga yang mahal’ dari Hamas.

Petugas dari tim penyelamat darurat Gaza, Samir al-Khatib, mengatakan, serangan udara Israel saat ini menjadi yang terburuk. Ia mengungkapkan, belum pernah melihat tingkat kerusakan yang parah di kota Palestina itu selama 14 tahun bekerja, bahkan termasuk dalam perang yang terjadi antara Palestina dan Israel pada 2014.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement