Selasa 18 May 2021 07:20 WIB

Sikap AS ke Palestina, Seperti Menulis Sejarah dengan Darah

Erdogan kritik Biden yang menjual senjata ke Israel.

 Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menganggap Austria dan Amerika tidak tanggap terhadap kekerasan Israel ke Palestina.
Foto: AP/Turkish Presidency
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menganggap Austria dan Amerika tidak tanggap terhadap kekerasan Israel ke Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Tayyip Erdogan mengkritik kekuatan Barat karena kurangnya tanggapan mereka atas kekerasan Israel terhadap Palestina. Erdogan menyebut Austria dan Amerika Serikat 'menulis sejarah dengan tangan berdarah'.

Erdogan, seorang pembela vokal Palestina, telah menghubungi para pemimpin dunia dalam sepekan terakhir, menyerukan tindakan tegas terhadap Israel. Kondisi di Palestina-Israel telah menjadi karena permusuhan regional paling sengit yang dalam beberapa tahun tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.

Baca Juga

Berbicara setelah rapat kabinet, Erdogan mengkritik persetujuan Presiden AS Joe Biden atas penjualan senjata ke Israel. "Anda menulis sejarah dengan tangan berdarah dalam insiden yang merupakan serangan serius yang tidak proporsional di Gaza, yang menyebabkan ratusan ribu orang mati syahid," katanya. "Anda memaksa saya untuk mengatakan ini."

Pemerintahan Biden pada Senin (17/5) menyetujui potensi penjualan 735 juta dolar AS atau sekitar Rp 10,5 triliun senjata presisi dipandu ke Israel, menurut sumber kongres. Erdogan kemudian beralih ke Eropa, mengutuk Austria karena mengibarkan bendera Israel di atas kanselir federal di Wina pada Jumat.

"Negara bagian Austria sedang mencoba untuk membuat Muslim membayar harga untuk orang Yahudi yang menjadi sasaran genosida," kata Erdogan. Kanselir Austria Sebastian Kurz, yang sangat pro-Israel, menyebut langkah itu sebagai tanda solidaritas di tengah bentrokan.

Israel menghantam Gaza dengan serangan udara pada Senin dan militan Palestina meluncurkan roket ke kota-kota Israel. Kesibukan diplomasi AS dan regional sejauh ini gagal menghentikan lebih dari seminggu pertempuran mematikan tersebut, dilansir dari Reuters, Selasa (18/5).

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement