Selasa 18 May 2021 14:41 WIB

Pemungutan Suara PBB Soal Senjata Myanmar Ditunda

Langkah penundaan ini dalam upaya untuk mendapatkan lebih banyak dukungan

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Demonstran wanita berlatih sling shot selama protes menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar,  Kamis (18/3). Protes anti-kudeta terus berlanjut meskipun tindakan keras terhadap demonstran semakin intensif oleh pasukan keamanan.
Foto: STRINGER/EPA
Demonstran wanita berlatih sling shot selama protes menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, Kamis (18/3). Protes anti-kudeta terus berlanjut meskipun tindakan keras terhadap demonstran semakin intensif oleh pasukan keamanan.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pemungutan suara Majelis Umum PBB tentang penangguhan pasokan senjata dan amunisi ke Myanmar telah ditunda, Selasa (18/5). Awalnya MU PBB akan mengadakan pemungutan suara pada Selasa ini, namun para diplomat mengatakan, menunda waktu pemungutan suara.

Belum jelas kapan pemungutan suara dijadwalkan ulang. Beberapa diplomat mengatakan, langkah penundaan ini dalam upaya untuk mendapatkan lebih banyak dukungan.

Baca Juga

Rancangan resolusi menyerukan militer Myanmar untuk mengakhiri keadaan darurat, menghentikan semua kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai, dan menghormati keinginan rakyat seperti yang diungkapkan dalam hasil pemilihan November.

Resolusi Majelis Umum tidak mengikat secara hukum tetapi memiliki bobot politik. Berbeda dengan 15 anggota Dewan Keamanan PBB, tidak ada negara yang memiliki hak veto di Majelis Umum.

Myanmar berada dalam krisis sejak tentara menggulingkan pemerintahan terpilih pemimpin Aung San Suu Kyi dan menahannya serta pejabat partai Liga Nasional untuk Demokrasi. Draf teks PBB menyerukan pembebasan mereka.

Sementara militer menuding kecurangan dalam pemilihan November lalu yang mengembalikan Aung San Suu Kyi ke tampuk kekuasaan. Meski komisi pemilihan mengatakan pemungutan suara itu adil.

Rancangan resolusi Majelis Umum PBB juga menyerukan kepada angkatan bersenjata Myanmar untuk segera menghentikan semua kekerasan terhadap demonstran damai, anggota masyarakat sipil, wanita, pemuda, serta anak-anak dan lainnya. Setidaknya 788 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan junta dalam tindakan keras terhadap protes terhadap pemerintahannya.

Namun demikian militer membantah angka itu. Militer justru memberlakukan pembatasan ketat pada media, informasi, dan Internet.

"Mendesak tentara untuk menghentikan serangan terhadap pendemo damai, pelecehan dan pembatasan terhadap tenaga medis, pembela hak asasi manusia, anggota serikat pekerja, jurnalis dan pekerja media hingga pembatasan di Internet dan media sosial," tulis teks MU PBB tersebut seperti Channel News Asia, Selasa (18/5).

Jika diadopsi, rancangan resolusi tersebut akan mendesak militer untuk mengizinkan kunjungan utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, dan melaksanakan rencana ASEAN untuk mengakhiri krisis.

Amerika Serikat, Inggris dan Kanada pada Senin (17/5) memberlakukan sanksi baru yang menargetkan junta Myanmar. Hanya Dewan Keamanan PBB yang dapat menjatuhkan sanksi mengikat secara hukum atau embargo senjata, tetapi para diplomat mengatakan Rusia dan China kemungkinan dapat menggunakan hak veto mereka untuk mencegah tindakan seperti itu terhadap Myanmar.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement