REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Menteri luar negeri negara-negara Uni Eropa (UE) menyerukan gencatan senjata untuk mengakhiri kekerasan Israel terhadap Palestina, Selasa (18/5) waktu setempat. Namun Hongaria, sekutu terdekat Israel di blok tersebut, menolak untuk bergabung dengan 26 menteri luar negeri lainnya dalam menyerukan gencatan senjata secara virtual.
Pertemuan para Menteri Luar Negeri negara-negara Eropa ini dipimpin oleh kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell. Setelah memimpin pertemuan tersebut, Borrell mengatakan, bahwa ada kesepakatan luas di antara para menteri. "Prioritasnya adalah penghentian segera semua kekerasan dan penerapan gencatan senjata," ujar dia seperti dilansir laman Aljazirah, Rabu (19/5).
Perpecahan tradisional UE atas kebijakan terhadap Israel dan Palestina mendapat tanggapan publik yang tidak biasa. Borrell mengakui bahwa Hongaria berdiri sendiri di antara 27 negara anggota yang tidak mendukung pernyataannya. Meski dia tidak memberikan detailnya.
"Saya memiliki masalah umum dengan pernyataan Eropa tentang Israel. Ini biasanya sangat sepihak, dan pernyataan ini tidak membantu, terutama dalam keadaan saat ini, ketika ketegangan begitu tinggi," ujar Menteri Luar Negeri Hongaria Peter Szijjarto.
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian memperingatkan bahwa konflik dapat menyebar ke seluruh wilayah jika tidak ada gencatan senjata yang disepakati. Dia juga mengatakan, bahwa Prancis berharap Israel tidak akan melancarkan operasi darat di Gaza.
"Setiap hari membawa risiko yang lebih besar: risiko konflik menyebar ke Tepi Barat, risiko kekerasan di dalam Israel sendiri, risiko bahwa konflik menjadi konflik regional," kata Le Drian kepada wartawan di Paris selama jeda dalam pertemuan tersebut.
Meski demikian, menteri lain berjanji bahwa UE akan mencoba meluncurkan kembali proses perdamaian bersama dengan Amerika Serikat, Rusia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
"Minimal, kami dapat mencoba untuk merealisasikan gencatan senjata, kemudian memberikan bantuan kemanusiaan, dan kemudian melihat apa yang dapat dilakukan untuk memulai kembali proses perdamaian Timur Tengah untuk mengatasi akar penyebab kekerasan," kata Menteri Luar Negeri Malta Evarist Bartolo kepada Reuters.
"Kita tidak bisa membiarkan ekstremis di kedua sisi saling memberi umpan dan mengatur agenda," ujarnya menambahkan.