REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Sebuah konvoi truk bantuan internasional yang mulai meluncur ke Gaza melalui perbatasan dengan Israel, Karem Abu Salem, dihentikan pada Selasa (18/5). Israel menutup penyeberangan dengan alasan telah terjadi serangan di daerah tersebut.
Langkah itu dilakukan tak lama setelah Koordinator Kegiatan Pemerintah Israel di Wilayah (COGAT) mengumumkan pembukaan sementara perbatasan untuk pengiriman bantuan. Kemudian COGAT mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa penyeberangan perbatasan ditutup setelah seorang tentara Israel terluka ringan dalam serangan.
"Setelah bom mortir ditembakkan ke arah Penyeberangan Kerem Shalom… diputuskan untuk menghentikan masuknya sisa truk," kata COGAT merujuk Karem Abu Salem.
Sebelum peristiwa itu, penasihat media untuk Timur Tengah di Dewan Pengungsi Norwegia Karl Schembri mengatakan Gaza akan tercekik jika penyeberangan Karem Abu Salem dan Beit Hanoon (Erez) ditutup. "Sangat penting bahwa penyeberangan terbuka," katanya dikutip dari Aljazirah, Rabu (19/5).
"Orang-orang ini tidak hanya membutuhkan barang-barang penting, mereka sekarang membutuhkan bantuan kemanusiaan yang vital. Dan Israel perlu memberikan jaminan bahwa barang-barang ini akan diberikan jalur yang aman," ujar Schembri.
Schembri juga mengatakan perlu ada koridor kemanusiaan dan gencatan senjata agar para pekerja bisa masuk dan menilai kebutuhan masyarakat. "Tidak ada pengiriman yang bisa dilakukan selama pengeboman berlanjut," katanya.
Badan bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa mengatakan lebih dari 52.000 warga Palestina kini telah terlantar akibat serangan udara Israel. Serangan itu telah menghancurkan atau merusak parah hampir 450 bangunan di Jalur Gaza.
Juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) di Jenewa, Jens Laerke, sekitar 47.000 pengungsi telah mencari perlindungan di 58 sekolah yang dikelola PBB di Gaza. Dia mengatakan 132 bangunan hancur dan 316 rusak parah, termasuk enam rumah sakit dan sembilan pusat kesehatan utama serta pabrik desalinasi yang memengaruhi akses ke air minum bagi sekitar 250.000 orang.
Juru bicara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Margaret Harris menyatakan ada kekurangan pasokan medis yang parah, risiko penyakit yang ditularkan melalui air, dan penyebaran Covid-19. Hal itu akibat orang-orang terlantar berkerumun ke sekolah.