REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sudah lebih dari sepekan, serangan Israel ke Jalur Gaza kian meningkat sejak 10 Mei lalu. Sampai saat ini, warga Gaza banyak yang berjatuhan. Total lebih dari 200 orang tewas dan ribuan lainnya luka-luka. Bahkan, beberapa fasilitas penting pun hancur akibat serangan udara Israel. Sebut saja, laboratorium Covid-19 satu-satunya di Gaza.
Terlihat Amerika Serikat (AS) berperan penting dalam konflik ini. Pesawat tempur yang digunakan untuk menyerang Gaza difasilitasi Amerika Serikat. Menjadi negara adikuasa, Amerika Serikat tampak bisa mengendalikan semuanya. Oleh karena itu, eksistensinya sangat disoroti.
“Empat jam setelah deklarasi berdirinya Israel, Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman memberikan pengakuan. Sejak itu, keterlibatan Amerika Serikat dalam proteksi Israel semakin besar,” kata Duta Besar Republik Indonesia Lebanon, Hadriyanto Y Tohari dalam gelar wicara antara Amerika-Israel dan Palestina di kanal Youtube dkhairat TV, Rabu (19/5).
Motif Amerika Serikat terlibat di Timur Tengah, khususnya dalam persoalan Israel-Palestina ada lima. Yakni, pengamanan akses terhadap minyak, dukungan dan proteksi atas Israel, pengamanan basis-basis dan pangkalan militer Amerika Serikat di Timur Tengah, mempertahankan rezim-rezim yang berkuasa di negara-negara Arab sehingga menjadi aliansi setianya, dan membendung gerakan radikalisme dan teroris.
Peran Amerika Serikat bukan hanya sebagai mediator perdamaian Arab-Israel tapi sebagai perancang, pencipta, dan penentu utama. Sebab, dalam hal ini naskah-naskah perjanjian yang ditandatangani di Gedung Putih.
Wakil Duta Besar RI untuk Mesir, M Aji Surya, mengatakan sebelum perang dingin, bagi negara-negara Arab Israel hanya seperti butiran debu. Setelah Israel merdeka, negara-negara Arab, yaitu Mesir dan Yordania berperang selama sepuluh bulan.
Akibatnya, 60 persen wilayah yang diperuntukkan oleh Arab diambil alih Israel. “Sejak 15 Mei 1948, civil war di Palestina antara Arab dan Yahudi bertransformasi menjadi perang antara negara (Israel dan negara-negara Arab),” ujar Aji.
Pada 1967 ketika dalam posisi perang dingin, Mesir dan beberapa negara Arab lain masih merasa kuat sehingga terjadi Perang Enam Hari (5 Juni-10 Juni 1967). Situasi perang ini sangat berbeda. Uni Soviet mendukung pihak Arab sedangkan Israel didukung Amerika Serikat.
Hasil perang selama 132 jam, 20 ribu tentara Arab dan 800 tentara Israel tewas. Perang ini berakhir dengan Semenanjung Sinai, Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Dataran Tinggi Golan menjadi milik Israel. Sejak itu, perang berdarah memengaruhi geopolitik di Timur Tengah sampai sekarang.