REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA - Kekerasan Israel terhadap perawat kesehatan kian berdampak pada sistem kesehatan Palestina dan Jalur Gaza yang sudah rapuh di tengah pandemi virus korona. Serangan pada fasilitas kesehatan ini tetap dilakukan Israel meski Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat mengadopsi Resolusi 2286 pada 3 Mei 2016.
Resolusi itu mewajibkan negara-negara anggota untuk "mengutuk keras serangan dan ancaman terhadap korban luka dan orang sakit, personel medis dan personel kemanusiaan terlibat dalam tugas medis."
"Termasuk juga sarana transportasi dan peralatan mereka, serta rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya."
PBB juga menyesalkan dampak jangka panjang dari serangan itu terhadap penduduk sipil dan sistem perawatan kesehatan di negara-negara tersebut.
DK PBB menuntut agar "semua pihak dalam konflik bersenjata mematuhi sepenuhnya kewajiban mereka di bawah hukum internasional, khususnya kewajiban mereka di bawah Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 dan 2005."
Israel memiliki rekam jejak yang tidak menunjukkan simpati kepada pasien dan petugas medis. Sering kali, serangan terhadap rumah sakit tidak hanya terjadi secara kebetulan, tetapi juga telah ditargetkan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF).
Ayman Abu al-Ouf, kepala penyakit dalam dan anggota satuan tugas virus korona di rumah sakit terbesar Gaza, Al-Shifa, gugur pada Minggu dalam serangan rudal di distrik al-Wehda. Istri dan lima anaknya juga gugur.
Dia adalah salah satu dokter paling unik dan cerdas yang pernah ditemui Zaher Sahloul, presiden LSM kesehatan global MedGlobal yang berbasis di AS dalam penuturannya kepada Anadolu Agency. “Saya bertemu dengan Dr Ayman al-Ouf selama misi medis saya di Gaza,” kata Sahloul.
“Dia adalah dokter yang sangat cerdas dan unik yang dididik di Jerman dan Yordania."
"Dia kembali ke Gaza untuk melayani komunitasnya. Sayangnya, dia terbunuh bersama delapan anggota keluarganya dalam pengeboman yang terjadi di Gaza oleh tentara Israel."
Selain al-Ouf, Dr Mooein al-Aloul juga gugur bersama 33 anggota keluarga besarnya.
"Serangan terhadap [pekerja] perawatan kesehatan selama konflik bertentangan dengan hukum humaniter internasional, ini akan semakin membuat Gaza kekurangan petugas medis," kata dia.
Sahloul mengatakan al-Aloul adalah salah satu dari sedikit, jika bukan satu-satunya ahli saraf di Gaza. Meninggalnya al-Alous membuat pasien kesulitan mengatasi masalah kesehatan mereka, terutama saat mereka tidak dapat dengan mudah pergi keluar Gaza.
"Segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk menghentikan pengeboman [Israel] harus dilakukan," kata Sahloul.
Dia dengan keras mengkritik pengeboman sekolah, klinik, dan jalan di Gaza oleh Israel. "Dokter dan perawat di seluruh dunia harus menjadi pembela kolega mereka di Gaza."
"Kami harus bersuara, kami harus menuntut agar pengeboman ini dihentikan," kata dia.
Alih-alih bekerja di klinik swasta yang menguntungkan, kedua dokter itu memilih bekerja di rumah sakit umum, mendedikasikan hidup dan profesinya untuk orang-orang yang terkepung di Gaza.
Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, empat rumah sakit yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan Gaza mengalami kerusakan. Selain itu dua rumah sakit yang dikelola oleh LSM, dua klinik, pusat kesehatan, dan fasilitas milik Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina juga rusak.
Setidaknya 227 warga Palestina gugur, termasuk 64 anak-anak dan 38 wanita, dan 1.620 lainnya terluka dalam serangan Israel di Jalur Gaza sejak 10 Mei, menurut Kementerian Kesehatan Palestina.
Ketegangan yang terjadi di Yerusalem Timur selama bulan suci Ramadan menyebar ke Gaza sebagai akibat dari serangan Israel terhadap jamaah di kompleks Masjid Al-Aqsa dan Sheikh Jarrah.
Israel menduduki Yerusalem Timur, tempat Al-Aqsa berada, selama perang Arab-Israel pada 1967. Israel mencaplok seluruh kota pada 1980 dalam sebuah tindakan yang tidak pernah diakui oleh komunitas internasional.