Jumat 21 May 2021 13:49 WIB

Kisah 4 Jurnalis Perang Palestina Saat Liput Pemboman Israel

Beberapa jurnalis Palestina menceritakan ketakutan dan kelelahan mereka

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Esthi Maharani
Jurnalis berlarian menghindari gas air mata yang ditembakkan tentara Israel di Kota Ramallah, Tepi Barat, Palestina, Jumat (8/12)
Foto:

3. Samar Abu Elouf

Samar Abu Elouf (33 tahun) bekerja dari pagi hingga sore untuk meliput berita terbaru di Gaza. Dia adalah seorang fotografer lepas yang bekerja di New York Times. Bagi dia, liputan kali ini jauh lebih sulit dibandingkan sebelumnya. Pemboman ada di mana pun dan senjata yang digunakan berbeda-beda.

Ibu dari empat anak anak ini mengaku telah meninggalkan anak-anaknya untuk bekerja dan itu merupakan titik lemahnya. “Sangat sulit untuk meninggalkan anak-anak Anda sendirian sementara mereka sangat takut dengan suara bom yang keras di sekitar mereka,” ucapnya.

Beberapa hari yang lalu, Abu Elouf dan keluarganya mengevakuasi rumah mereka setelah rudal Israel menghantam rumah tetangga mereka.

“Itu adalah momen yang mengerikan. Anak-anak saya menangis dan kami meninggalkan rumah secepat mungkin. Rumah saya rusak parah akibat pemboman itu. Pecahan peluru dari rudal menembus atap,” ujar dia.

Terlepas dari tekanan ini, Abu Elouf mengatakan kesulitan tidak akan menghentikannya untuk melanjutkan pekerjaannya. Malahan itu meningkatkan tekadnya untuk meliput pertempuran ini.

4. Rushdi al-Sarraj

Rushdi al-Sarraj adalah seorang jurnalis dan pembuat film di perusahaan Ain Media. Pekerjaannya tidak hanya melaporkan apa yang terjadi tapi menggabungkan antara jurnalisme dan pembuatan film yang berfokus pada pemberitaan. Misalnya, situasi di balik pemberitaan.

“Saya selalu mencari orang-orang yang selamat dari reruntuhan bangunan mereka, berusaha menutupi cerita mereka dalam bingkai cerita pendek dan film,” kata pria berusia 29 tahun.

Menurut Sarraj, tugas ini sulit dilakukan dalam keadaan terlebih saat kondisi perang ini. “Anda dapat membayangkan bekerja di bawah serangan sengit yang tidak bisa membedakan antara jurnalis, warga sipil, atau pemimpin militer,” tuturnya.

Soal pemboman gedung media, al-Sarraj mengatakan Israel bekerja keras untuk membungkam gambar, suara, dan melarang berita atau informasi apa pun yang mengungkap kejahatannya.

Dia menceritakan Israel telah membunuh banyak jurnalis Palestina. Tugas seorang jurnalis di Gaza sangat berbahaya karena kurangnya alat pelindung seperti helm yang dilarang memasuki Jalur Gaza.

“Selalu sulit untuk memisahkan antara perasaan Anda sebagai jurnalis dan sebagai manusia ketika Anda melihat pemandangan darah yang mengerikan dan orang-orang di bawah reruntuhan. Keluarga saya tidak berhenti menelepon saya karena takut saya akan disakiti. Ini adalah lingkaran ketakutan dan kelelahan yang tak ada habisnya. Tapi di sisi lain kita harus tetap melaporkan berita,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement