Ahad 23 May 2021 09:59 WIB

125 Ribu Guru Myanmar Diskors karena Menentang Kudeta

Lebih dari 125 ribu guru di Myanmar telah diskors oleh otoritas militer

 Para pengunjuk rasa memberi hormat tiga jari saat mereka membawa bendera serikat mahasiswa selama protes terhadap kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 21 Mei 2021.
Foto: EPA/STRINGER
Para pengunjuk rasa memberi hormat tiga jari saat mereka membawa bendera serikat mahasiswa selama protes terhadap kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 21 Mei 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Lebih dari 125 ribu guru sekolah di Myanmar telah diskors oleh otoritas militer karena bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil untuk menentang kudeta militer pada Februari, kata seorang pejabat Federasi Guru Myanmar.

Pemberlakuan skors itu telah terjadi beberapa hari sebelum dimulainya tahun ajaran baru, yang diboikot oleh beberapa guru dan orang tua sebagai bagian dari kampanye menentang kudeta.

Sebanyak 125.900 guru sekolah telah diskors hingga Sabtu, kata pejabat federasi guru, yang menolak menyebutkan namanya. Dia sudah ada dalam daftar buronan junta dengan tuduhan menghasut ketidakpuasan. Myanmar memiliki 430 ribu guru sekolah menurut data dua tahun lalu.

"Ini hanya pernyataan untuk mengancam orang agar kembali bekerja. Jika mereka benar-benar memecat orang sebanyak ini, seluruh sistem akan berhenti," kata pejabat yang juga seorang guru itu.

Dia mengatakan dia telah diberitahu bahwa tuduhan yang dia hadapi akan dibatalkan jika dia kembali. Reuters tidak dapat menghubungi juru bicara junta atau kementerian pendidikan untuk memberikan komentar.

Surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah meminta para guru dan siswa untuk kembali ke sekolah untuk memulai kembali sistem pendidikan.  Sekitar 19.500 staf universitas juga telah diskors, menurut kelompok guru. Orang tua minta anak tinggal di rumah.

Pendaftaran dimulai pekan depan untuk masa sekolah yang dimulai pada Juni, tetapi beberapa orang tua mengatakan mereka juga berencana untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka.

"Saya tidak akan mendaftarkan putri saya karena saya tidak ingin memberikan pendidikannya dari kediktatoran militer. Saya juga mengkhawatirkan keselamatannya," kata Myint, 42 tahun, yang putrinya berusia 14 tahun.

Mahasiswa, yang berada di garis depan protes harian yang menewaskan ratusan orang oleh pasukan keamanan, juga mengatakan mereka berencana untuk memboikot kelas.

"Saya hanya akan kembali ke sekolah jika kita mendapatkan kembali demokrasi," kata Lwin, 18 tahun.

Sistem pendidikan Myanmar sudah menjadi salah satu yang termiskin di kawasan itu - dan menduduki peringkat 92 dari 93 negara dalam survei global tahun lalu.

sumber : Antara / Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement