Gencatan senjata atas konflik di Gaza telah tercapai, tetapi situasi kondusif belum sepenuhnya dirasakan komunitas warga Arab dan Yahudi di Israel. "Di Yerusalem [Timur], orang Yahudi dan Palestina bahkan tidak membeli roti dari satu sama lain jika mereka tidak mau," kata Samah.
Dua bulan lalu, Samah pindah ke Haifa. "Di Haifa, orang Yahudi dan Palestina dipaksa untuk bertemu satu sama lain setiap hari. Kota ini tidak terbagi menjadi dua bagian seperti Yerusalem."
Haifa merupakan kota terbesar ketiga di Israel. Orang Arab dan Yahudi hidup berdampingan di sana, meski ketegangan dan permusuhan masih membayangi mereka.
Hanya dua hari setelah Hamas meluncurkan roket pertamanya ke Yerusalem, pengunjuk rasa Yahudi di Haifa melemparkan batu ke arah seorang pengendara mobil Palestina. Insiden lainnya, lima orang Arab Israel menyerang seorang pria Yahudi di kota Acre.
Gencatan senjata saja tidak cukup
Kota di mana orang Arab dan Yahudi tinggal berdampingan selama beberapa dekade, seperti Haifa, Lod, dan Jaffa memang tidak terdampak tembakan roket secara langsung, tetapi amarah dalam diri setiap orang masih ada.
"Tidak ada hidup berdampingan yang nyata," kata Samah, ketika dia berbicara tentang rumah barunya di Haifa. "Di sini, orang Palestina selalu menjadi [warga negara] kelas dua. Ini semakin jelas sekarang."
Bagi Halil, remaja berusia 15 tahun yang lahir dan besar di Jaffa, kesepakatan gencatan senjata pada Jumat (21/05) adalah "berita yang luar biasa, tetapi ini baru permulaan," jelasnya saat melayani pelanggan di toko roti keluarganya.
"[Polisi] memblokir jalan-jalan di sini setiap malam, mencegah orang lewat, menanyai kami. Mengapa? Apakah kami penjahat? Kami hanya ingin menjalani hidup kami dengan damai - di tanah kami."
Salah satu pelanggan Halil, Adam yang berusia 42 tahun, seorang penduduk Yahudi di Jaffa, pun setuju. "Apa pun sikap politik Anda, faktanya adalah bahwa baik orang Yahudi dan Palestina harus belajar untuk hidup dengan satu sama lain. Tidak ada kemungkinan realistis lainnya."
Di kota Lod, di mana 40% populasinya adalah orang Arab, seorang Palestina-Israel berusia 32 tahun ditembak dan dibunuh, sementara sinagoga dan properti Yahudi lainnya dibakar. Kemudian di pekan yang sama, seorang pria Yahudi meninggal setelah diserang oleh sekelompok orang Arab-Israel.
Kepercayaan yang hancur
Setelah gencatan senjata tercapai, kehidupan perlahan mulai membaik di Jalur Gaza dan Israel. Otoritas Gaza mengumumkan bahwa kantor pemerintah akan dibuka kembali hari Minggu (23/05).
Selama 11 hari bentrokan, Israel melancarkan ratusan serangan udara yang menewaskan 248 orang, termasuk 66 anak-anak, dan melukai lebih dari 1.900 orang. PBB mengatakan lebih dari sebagian korban tewas adalah warga sipil.
Militer Israel mengklaim Hamas menembakkan sekitar 4.350 roket, banyak di antaranya tidak mencapai Israel atau berhasil dicegat.
Warga Palestina dan Yahudi yang tinggal di Israel masih menyebut kota mereka sebagai rumah, tetapi kerusakan yang terjadi akibat bentrokan - baik secara fisik maupun psikologis - membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk kembali pulih. (ha/vlz)