Rabu 26 May 2021 12:33 WIB

Rekayasa Demografis Israel di Al-Aqsa dan Pengusiran Muslim

Israel memberlakukan UU diskriminatif untuk usir Muslim dari Yerusalem.

Warga Palestina lari dari bom suara yang dilemparkan oleh polisi Israel di depan kuil Dome of the Rock di kompleks masjid al-Aqsa di Yerusalem, Jumat (21/5), ketika gencatan senjata mulai berlaku antara Hamas dan Israel setelah perang 11 hari. .
Foto:

Beberapa tahun yang lalu, selama kunjungan saya ke Kota Yerusalem, sebuah rumah dua lantai dari sebuah keluarga Arab di kota tua telah ditempati selama mereka tidak ada. Keluarganya pergi menghadiri pernikahan seorang kerabat di luar kota.

Ketika mereka kembali setelah seminggu, mereka menemukan pintu tidak terkunci, barang-barang mereka berada di jalan, dan sebuah keluarga Yahudi tinggal di dalam rumah.

Mereka diberi tahu bahwa otoritas selama mereka tidak ada telah memberikan rumah itu kepada sebuah keluarga Yahudi karena mereka menemukannya "ditinggalkan dan dikunci”. Insiden semacam itu berulang cukup sering di kota suci Yerusalem.

Kisah serupa terulang di Sheikh Jarrah, lingkungan Arab yang relatif makmur yang terkenal dengan restoran Arab dan Maroko. Lokasi yang dinamakan dokter abad ke-12 yang makamnya berada di lingkungan itu juga menampung Istana Ottoman, yang kini telah diubah menjadi hotel.

Pada 1956, Yordania, yang merupakan otoritas yang berkuasa di Yerusalem Timur, telah memindahkan 28 keluarga Palestina, mengungsi pada 1948, ke rumah baru yang dibangun oleh badan pengungsi PBB.

Mereka diberikan kepemilikan properti dalam waktu tiga tahun sebagai imbalan penolakan status pengungsi mereka.

Namun, pada 1972, kelompok pemukim Yahudi mengeklaim bahwa tanah itu milik orang Israel. Atas dasar itu, mereka diberi dukungan hukum untuk memungut biaya sewa keluarga Palestina.

Sejak 2002, puluhan warga Palestina telah diusir dari lingkungan itu; dan sejak awal 2020, dengan persetujuan pengadilan Israel, yang telah memerintahkan penggusuran lebih dari 13 keluarga.

Alat politik, demografis, dan ekonomi gabungan yang digunakan oleh otoritas Israel untuk menekan karakter Kota Yerusalem dan menciptakan keseimbangan demografis yang berpihak pada orang Yahudi adalah salah satu tantangan paling berat bagi keamanan kawasan Timur Tengah.

Israel pun tidak mengizinkan otoritas Palestina untuk mendirikan tempat pemungutan suara untuk pemilihan Dewan Legislatif Palestina yang saat ini ditunda yang dijadwalkan pada 22 Mei lalu.

Warga di bawah tekanan

Diungkapkan kepada Jerusalem Quarterly, Luay Shabbaneh, kepala Biro Pusat Statistik Palestina di Ramallah, mengatakan bahwa Otoritas Palestina telah dilarang memberikan layanan di kota itu selama bertahun-tahun.

Di sisi lain, layanan yang ditawarkan oleh pejabat Israel tidak didistribusikan secara merata di antara penduduk kota.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement