REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Junta Myanmar menggunakan tubuh dan mayat yang terluka untuk menciptakan kecemasan, ketidakpastian, dan menimbulkan ketakutan pada penduduk sipil. Temuan itu didasarkan pada lebih dari 2.000 kicauan di Twitter dan gambar daring, selain wawancara dengan anggota keluarga, akun saksi, dan laporan media lokal.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sebuah organisasi pengawas yang memantau penangkapan dan kematian, menyatakan sejak kudeta militer pada 1 Februari, lebih dari 825 orang telah dibunuh. Meskipun beberapa insiden yang menimbulkan korban jiwa mungkin tampak acak dan tidak beralasan itu sebenarnya disengaja dan sistematis dengan tujuan melumpuhkan orang dan membuat mereka lelah.
"Itu, persis seperti karakteristik teror negara," ujar peneliti di Australian National University yang berspesialisasi dalam politik hukum dan kepolisian di Myanmar, Nick Cheesman.
Analisis oleh The Associated Press (AP) dan Human Rights Center Investigations Lab (HRC) di University of California, Berkeley, mengamati kasus-kasus ketika tubuh orang-orang yang menjadi sasaran tanpa pandang bulu oleh polisi dan militer digunakan sebagai alat teror. Lebih dari 130 kejadian pasukan keamanan tampaknya menggunakan mayat dan tubuh yang terluka untuk menciptakan kecemasan, ketidakpastian, dan menimbulkan ketakutan pada penduduk sipil.
Lebih dari dua pertiga kasus yang dianalisis terkonfirmasi atau dikategorikan memiliki kredibilitas sedang atau tinggi. Hasil itu seringkali melibatkan penelusuran sumber asli konten atau mewawancarai pengamat.