REPUBLIKA.CO.ID, KIGALI -- Presiden Prancis Emmanuel Macron tiba di Kigali, Rwanda. Ia ingin memperbaiki hubungan antara kedua negara setelah puluhan tahun Rwanda menuduh Prancis terlibat dalam genosida tahun 1994.
Bulan Maret lalu, panel Prancis merilis hasil penyelidikan yang menyebutkan sikap kolonial membutakan pejabat-pejabat dan pemerintah Prancis dalam memikul tanggung jawab 'serius dan besar' karena tidak memprediksi pembantaian tersebut. Namun, laporan itu tidak menyebutkan Prancis terlibat langsung dalam pembantaian tersebut ketika etnis Hutu membunuh lebih dari 800 ribu orang Tutsi.
Pekan lalu, Presiden Rwanda Paul Kagame mengatakan laporan tersebut 'sangat berarti' bagi rakyat Rwanda. Sebelumnya, Kagame mengatakan Prancis berparitisipasi dalam pembantaian tersebut.
Kagame mengatakan rakyat Rwanda mungkin tidak dapat melupakan tapi dapat memaafkan Prancis atas peran mereka. Kagame adalah orang Tutsi dan kekuatan politik utama di Rwanda sejak pasukan pemberontaknya mengakhiri pembantaian tersebut dengan tewasnya pasukan yang loyal pada pemerintah Hutu.
Macron sempat menjauhkan keterlibatan Prancis dari masa lalu kolonialnya. Pada bulan April lalu, ia sempat membuka arsip-arsip mantan Presiden Francois Mitterrand yang menjabat saat pembantaian terjadi.
Tidak lama kemudian Rwanda merilis laporan mereka sendiri yang menemukan Prancis mengetahui mengenai persiapan pembantaian dan bertanggung jawab karena membiarkannya. Saat itu, Prancis terus mendukung pemerintahan mantan Presiden Juvenal Habyarimana.
Pembantaian yang berlangsung selama 100 hari berhenti setelah pesawat yang ditumpangi Habyarimana jatuh ditembak. "Pemerintah Prancis mempersenjatai, memberi saran, melihat, melengkapi dan melindungi pemerintah Rwanda," tulis laporan tersebut.
Laporan itu menambahkan sejak itu Prancis mencoba menutup peran mereka di pembantaian tersebut. Pekan lalu Elysee Palace mengatakan Macron akan menunjukkan duta besar untuk Rwanda pertama sejak tahun 2015.