Nicky Gluch berdiri dengan khusyuk, sambil membaca kitab suci di tangannya.
Dia berada di lantai dua sinagog Yahudi Sephardi di Sydney yang diperuntukkan bagi jemaat perempuan.
Para jemaat pria yang mengenakan kippah berada di lantai bawah. Tubuh mereka bergoyang secara ritmis mengikuti alunan kitab suci yang dibaca oleh rabi.
Rumah ibadah telah menjadi tempat menyendiri dan pelipur lara bagi Nicky.
Sekaligus mengingatkan dirinya yang sedang patah hati.
Keyakinan agama yang dianut Nicky, sebagai seorang Yahudi Ortodoks modern, harus dia bayar mahal.
Apa yang dialami Nicky bermula saat dia menjalin hubungan jarak jauh dengan seorang sarjana fisika asal Israel yang dia temui saat studi banding.
Pandangan pacarnya soal agama Yahudi menjadi jelas ketika mereka bertemu di Sydney saat musim liburan Tahun Baru Yahudi.
"Dia ketakutan melihat keluargaku pergi ke sinagog selama dua hari berturut-turut. Dia seakan keberatan, jika kita nanti punya anak, dia tidak akan pernah membiarkan mereka melihat saya pergi ke sinagog karena hal itu tidak masuk akal," kata Nicky.
"Dia tidak bisa menerima kegiatan saya dalam beribadah. Ateisme-nya mungkin lebih kuat dari keyakinan Yahudi saya."
Penghambat hubungan romantis
Lebih dari dua pertiga orang Australia telah mengidentifikasikan diri sebagai penganut sebuah agama, menurut data sensus terbaru.
Namun dalam urusan menemukan pasangan, keyakinan agama justru bisa menjadi pencegah terciptanya hubungan romantis.
Tahun ini, Survei Nasional 'Australia Talks' bertanya kepada 60.000 responden soal seberapa terbuka mereka terhadap hubungan romantis dengan seseorang yang sangat religius.
44 persen responden mengaku mereka sama sekali "tidak mau menerima", sementara 24 persen mengatakan "agak menerima".
Ketika survei yang sama dilakukan pada tahun 2019, orang Australia sedikit lebih terbuka untuk berkencan dengan pemeluk agama yang taat, yaitu 39 persen "sama sekali tidak mau menerima", dan 16 persen "agak menerima".
Jadi, apakah berpacaran dan kencan kini menjadi semakin sulit bagi orang Australia yang religius?
Memikul stigma Katholik
Peter Nguyen berusaha untuk tidak menyebutkan apa agamanya saat kencan. Tapi bagaimanapun, keyakinan agamanya telah menyebabkan ia putus dengan pacarnya sebelumnya.
"Dia tidak menerima kemungkinan untuk membaptis anak-anak kami nanti," kata Peter tentang mantannya.
"Dia berpendapat kita tidak membutuhkan agama untuk memberikan pedoman moral yang baik."
Insinyur berusia 25 tahun ini menganut agama Katolik, namun saat dia menggunakan aplikasi kencan sebelumnya, dia lebih menyukai sebutan "Kristen". Sebagian untuk mencocokkan dirinya dengan kelompok yang lebih luas, tapi ada alasan lain juga.
Dia pernah memiliki teman kencan yang menyoroti masalah ajaran gereja tentang aborsi dan komunitas LGBTQIA +.
"Hal itu banyak membuat orang meninggalkan agama Katolik."
Peter menyebut "kasus pelecehan anak-anak yang sangat keji" telah menimbulkan stigma lebih banyak mengenai orang Katolik.
"Tapi perbuatan segelintir orang seharusnya tidak mewakili keseluruhan demografis ... Kami bukanlah orang yang melakukan perbuatan tersebut."
Mengapa orang tak melirik penganut agama yang taat
Alexi Barnstone merupakan salah seorang yang tak mau melirik profil yang menyebutkan penganut agama tertentu di aplikasi kencan.
Alexi lahir dari ibu yang penganut agama Yahudi dan bapak yang penganut aliran agama Yunani Ortodoks. Namun ia menyebut dirinya seorang atheis.
Sebagai sarjana filsafat, dia tak menghindari pertanyaan-pertanyaan yang kurang mengenakkan, bahkan di saat kencan dengan seseorang.
"Saya telah mengalami situasi di mana saya bertanya ke teman kencan saya, mengapa kamu pikir Gereja Katholik itu sebuah kekuatan niat baik? Ayo kita bahas semua hal buruk yang terkuak dari lingkungan Gereja Katholik."
Akibat dari pengalaman seperti itu, Alexi cenderung menghindari untuk bertemu dengan seseorang yang menampilkan profil religius di aplikasi kencan.
"Inti dari aplikasi kencan adalah sistem filterisasi."
"Jadi, mengapa tidak mempercepat prosesnya dan memilih orang dengan kesamaan latar belakang?"
Namun demikian, Alexi tidak menolak kencan atau bahkan menikah dengan seorang penganut agama yang taat.
"Tergantung bagaimana pandangannya. Isu-isu ini punya nuansa, dan yang jadi masalah ketika dibicarakan di aplikasi kencan yaitu saya tidak mendapatkan nuansanya dari perspektif individual."
Batas-batas 'dilangkahi'
Seorang mahasiswi di Sydney, Sabreen Hussain, berpendapat nuansa agamanya, Islam, kerap terabaikan dalam dunia kencan.
"Islam itu agama menyeluruh, meliputi seluruh aspek kehidupan," ujar wanita berusia 21 tahun ini.
"Ia mempengaruhi apa yang kita makan, yang kita minum, hubungan intim, keuangan hingga perbankan."
Sejumlah teman wanita Sabreen telah berpacaran dengan pria dari agama yang berbeda.
"Mereka memberitahu pacarnya sebelum melangkah lebih jauh bahwa mereka seorang muslim, dan hal itu tampaknya tak jadi soal," ujarnya.
Namun Sabreen mengatakan hal itu sering berubah seiring berjalannya waktu.
"Masalahnya mungkin dia ingin pergi ke restoran halal, dan pacarnya tidak mau mengerti atau menghormatinya," katanya.
"Mungkin teman saya itu tak mau menenggak alkohol, tetapi pacarnya minum. Ini dapat menyebabkan gesekan dalam hubungan mereka."
Sikap yang tak sesuai terhadap hubungan intim telah menjadi tema berulang dalam lingkaran persahabatan Sabreen.
"Apa yang sering saya rasakan yaitu para pria ini cenderung mengabaikan batasan dari teman-teman saya. Seperti dilangkahi."
Sabreen percaya hal menggambarkan tentang sikap yang lebih luas terhadap keyakinan agama.
"Agama di Australia tidak dilihat sebagai sesuatu yang penting atau layak untuk dipertahankan," katanya.
"Agama dilihat sebagai suatu hal yang harus disingkirkan dan hanya ditampilkan untuk acara-acara keagamaan atau hari raya, mungkin seminggu sekali untuk beribadah."
'Kenapa kamu percaya pada Tuhan?'
Bagi Nicky, ibadah agama Yahudi yang dia jalankan bukan hanya menimbulkan masalah dengan urusan pacaran. Tapi juga memicu perubahan kariernya secara keseluruhan.
Sebelum diterima di Sydney Conservatorium of Music untuk program PhD di bidang konduktor orkestra, Nicky kuliah sains.
Sikap pacarnya terhadap keyakinan Nicky merupakan hal biasa di antara teman-temannya.
"Ada pertanyaan, 'Bagaimana bisa kamu percaya adanya Tuhan, lalu ingin menjadi ilmuwan?'," ujarnya.
"Saya merasa lucu karena hal ini sebenarnya bukan masalah dalam Yudaisme. Konsep kami tentang Tuhan itu tidak terbatas. Artinya kita hanya harus percaya pada ketidakterbatasan."
"Matematika jelas saya pelajari dalam kuliah sebelumnya. Saya menggunakan ketakterhinggaan itu sepanjang waktu."
Pindah ke musik, Nicky berharap keyakinan agamany bisa menjadi hal yang tidak perlu diperdebatkan lagi.
Saat belajar di Polandia, dia bertemu dengan sesama konduktor dan menyatakan keyakinannya secara eksplisit. Pulang lebih awal pada Jumat malam untuk Shabbat dan makan makanan kosher.
"Ketika saya kembali ke Australia, dia sangat mendukung praktik keagamaan saya dari jauh," kenangnya.
Tapi ketika pacar Nicky itu datang ke Australia, kejadian sebelumnya dengan sarjana fisika terulang kembali.
"Saat itulah saya menyadari bahwa agama adalah sesuatu yang secara teori baik-baik saja. Namun ketika kita melihatnya, dan melihat simbol-simbolnya, ternyata tidak sesederhana itu," katanya.
Nicky menyebut, mengapa harus mengejar sesuatu yang sangat sulit di negara ini, padahal hanya akan menimbulkan lebih banyak kesengsaraan daripada kegembiraan?
Pada akhirnya, Nicky menyadari betapa dia tidak bisa melepaskan keyakinannya demi berkencan dengan seseorang.
Sebaliknya, dia bertekad untuk terus menjalankan keyakinannya.
"Saya menyadari jika terlibat dalam menjalankan agama, saya harus tegaskan, saya tahu Anda tidak nyaman dengan itu, tapi saya bangga (dengan agamaku)."
Mengapa sebagian orang Australia tetap taat bergama
Sama seperti Nicky, Peter pun tetap bangga dengan keyakinan agamanya, yang telah terbentuk di kalangan pendatang asal Vietnam sebelumnya.
"Selama ratusan tahun, keluarga kami menghadapi penganiayaan dari dinasti keluarga kekaisaran Vietnam, dan dari sistem politik yang berbeda," katanya.
"Keluargaku menggunakan keyakinan untuk bertahan hidup selama perang, saat melarikan diri dari penganiayaan di tahun 1954, dan datang ke Australia melalui laut setelah 1975."
Peter yang beragama Katholik berharap bisa menemukan pacar yang menerima dan bahkan memiliki keyakinan yang sama dengan dirinya.
"Itu penting supaya kita bisa menjaga keyakinan ini, sebagai keluarga, yang hidup dan berjuang di era modern."
Kredit:
- Penulis dan produser digital: Siobhan Marin
- Periset dan produser: Dunja Karagic
- Penerjemah: Farid M. Ibrahim.
- Fotografer: Jess Pace, dengan tambahan foto dari Teresa Tan
- Editor: Annika Blau
Simak artikelnya dalam Bahasa Inggris di sini.