REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan, PRancis akan berinvestasi dalam meningkatkan produksi vaksin Covid-19 di Afrika. Prancis siap membantu menutup celah dalam ketersediaan suntikan antara negara-negara Afrika dan Barat.
Berbicara pada konferensi pers bersama dengan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa di Pretoria pada Jumat (28/5) Macron mengatakan, Afrika membuat sekitar 20 persen dari kebutuhan dunia akan vaksin tetapi hanya satu persen dari produksi vaksin. "Mencoba mengangkat rintangan untuk memungkinkan produksi vaksin di Afrika Selatan dan seluruh Afrika, kami mendukungnya," kata Macron seperti dilansir laman Aljazirah, Sabtu (29/5).
"Tapi masalah apa yang sedang kami coba atasi? Yang perlu kita lakukan adalah memvaksinasi secepat mungkin kepada sebanyak mungkin orang. Ini soal tugas dan solidaritas," ujarnya.
"Semakin banyak waktu yang dibutuhkan, semakin besar kemungkinan virus untuk bermutasi dan kembali," kata Macron. Dia menambahkan bahwa negara-negara yang lebih kaya harus memberikan dosis berlebih yang mereka miliki ke negara-negara miskin secepat mungkin.
Dia berjanji bahwa Prancis akan menyumbangkan lebih dari 30 juta dosis vaksin pada akhir tahun untuk inisiatif vaksin global COVAX yang didukung PBB. Menurut presiden, Prancis telah menjalin kemitraan dengan Institut Biovac Afrika Selatan dan akan segera meluncurkan proyek dengan perusahaan farmasi Afrika Selatan, Aspen.
Dia menegaskan kembali dukungan untuk membebaskan hak kekayaan intelektual untuk vaksin COVID-19, sebuah langkah yang juga didukung oleh Presiden AS Joe Biden namun ditentang oleh Jerman. Menurut presiden, Prancis telah menjalin kemitraan dengan Institut Biovac Afrika Selatan dan akan segera meluncurkan proyek dengan perusahaan farmasi Afrika Selatan, Aspen.
Afrika Sub-Sahara tertinggal dari negara-negara lain di dunia. Vaksinasi, kurang dari dua persen populasinya yang telah diimunisasi enam bulan setelah kampanye dimulai.
Ramaphosa bulan ini menyuarakan peringatan tentang apa yang disebutnya "apartheid vaksin" antara negara kaya dan negara miskin. Perusahaan farmasi menentang pengabaian tersebut, dengan mengatakan hal itu dapat mengurangi insentif untuk penelitian dan pengembangan di masa depan.