REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Sebuah bom meledak dan menghantam minibus yang membawa dosen serta mahasiswa Universitas Alberoni di Afghanistan utara, pada Sabtu (29/5). Ledakan ini menewaskan empat orang dan melukai 11 lainnya.
Dilansir Aljazirah, Ahad (30/5), juru bicara Kementerian Dalam Negeri Tariq Arian mengatakan, ledakan itu memang menargetkan minibus yang membawa dosen serta mahasiswa dari di ibu kota provinsi Charikar ke provinsi Kapisa. Juru bicara kepolisian provinsi Kapisa Shayeq Shoresh mengatakan bom itu diledakkan dengan remote control.
Kementerian Pendidikan Tinggi mengatakan, setidaknya dua dari korban meninggal adalah dosen di Universitas Alberoni. Sementara korban yang terluka termasuk dekan universitas dan beberapa mahasiswa. Juru bicara Kementerian Pendidikan Tinggi Hamed Obaidi mengatakan, beberapa yang terluka berada dalam kondisi kritis.
TOLO News melaporkan, ledakan terjadi sekitar pukul 15.15 sore waktu setempat. Hingga saat ini belum ada pihak yang bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Serangan hari Sabtu terjadi beberapa minggu setelah 2.500 hingga 3.500 tentara Amerika Serikat (AS) yang tersisa secara resmi mulai meninggalkan Afghanistan. Militer AS akan meninggalkan Afghanistan paling lambat 11 September. Penarikan itu dilakukan di tengah kebangkitan kembali Taliban.
Di bawah perjanjian yang ditandatangani oleh Taliban dan AS tahun lalu, Washington akan menarik pasukan dengan imbalan jaminan keamanan Taliban dan agar kelompok itu memulai pembicaraan damai dengan pemerintah Afghanistan. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, kekerasan di negara itu terus meningkat.
Serangan mematikan sebelumnya di Universitas Kabul pada November tahun lalu diklaim oleh kelompok ISIS. Tiga pekan lalu, serangan bom di luar sekolah di ibu kota Kabul menewaskan 68 orang, yang sebagian besar pelajar, dan melukai 165 lainnya.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, hampir 1.800 warga sipil Afghanistan tewas atau terluka dalam tiga bulan pertama tahun 2021 selama pertempuran antara pasukan pemerintah dan pejuang Taliban.