REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Sistem kesehatan Myanmar hampir runtuh sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu. Rumah sakit di perbatasan Myanmar dengan India mulai kekurangan suplai oksigen dan obat-obatan untuk merawat pasien Covid-19.
"Kami tidak memiliki cukup oksigen, peralatan medis, listrik, dokter atau ambulans. Kami beroperasi dengan tiga staf, bukan 11," ujar Kepala Perawatan Rumah Sakit Cikha, Lun Za En kepada Reuters.
Kampanye anti-virus korona di Myanmar kandas setelah militer merebut kekuasaan pada 1 Februari, dan menggulingkan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi. Sebelum kudeta pemerintahan Suu Kyi telah meningkatkan pengujian, karantina, dan perawatan.
Layanan di rumah sakit umum runtuh setelah banyak dokter dan perawat bergabung dalam pemogokan dalam Gerakan Pembangkangan Sipil yang menentang kekuasaan militer.
Lun Za En mengatakan rumah sakitnya menggunakan nebuliser yaitu mesin yang mengubah cairan menjadi kabut, untuk meredakan sesak napas. Beberapa pasien memiliki konsentrator oksigen, tetapi mereka hanya menyala selama dua jam sehari setelah kota mendapatkan listrik. Lun Za En mengatakan dia memutuskan untuk tidak bergabung dalam pemogokan.
"Junta tidak akan merawat pasien kami," kata Lun Za En.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebanyak 13 petugas medis telah terbunuh dalam aksi protes. Sementara terdapat 179 serangan terhadap petugas kesehatan, fasilitas dan transportasi.
"Hampir setengah dari semua serangan serupa yang tercatat di seluruh dunia tahun ini," kata perwakilan WHO Myanmar Stephan Paul Jost.
Sekitar 150 petugas kesehatan telah ditangkap. Ratusan dokter dan perawat didakwa atas tuduhan penghasutan. Juru bicara junta militer Myanmar maupun Kementerian Kesehatan tidak menanggapi permintaan komentar.
Junta awalnya menetapkan prioritas untuk memerangi pandemi. Mereka telah berulang kali mendesak petugas medis untuk kembali bekerja, namun hanya sedikit yang menanggapi. Seorang pekerja di salah satu pusat karantina Covid-19 di ibu kota komersial Myanmar, Yangon mengatakan semua petugas kesehatan spesialis di pusat tersebut telah bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil.
"Kami tidak menerima pasien baru lagi karena pusat tes Covid-19 tidak memiliki staf untuk melakukan pengujian," kata seorang yang menolak menyebutkan namanya.
Seminggu sebelum kudeta, tes Covid-19 secara nasional rata-rata lebih dari 17.000 sehari. Setelah kudeta pengujian turun di bawah 1.200 sehari.
Myanmar telah melaporkan lebih dari 3.200 kematian akibat Covid-19 dari lebih 140.000 kasus. Turunnya tingkat pengujian telah menimbulkan keraguan atas data yang menunjukkan kasus baru dan kematiansejak kudeta.
Sistem kesehatan Myanmar yang mulai runtuh telah meningkatkan kekhawatiran tentang kemungkinan datangnya varian baru virus korona. Penderita gejala varian baru Covid-19 mulai muncul di Rumah Sakit Cikha pada pertengahan Mei lalu. Rumah sakit tersebut berada di perbatasan Myanmar dan berjarak 6 kilometer dari India. Petugas kesehatan khawatir varian baru virus korona dari India yang sangat menular telah masuk ke Myanmar.
"Sangat mengkhawatirkan bahwa pengujian, pengobatan, dan vaksinasi Covid-19 sangat terbatas di Myanmar karena lebih banyak nyawa berisiko dengan penyebaran varian baru yang lebih berbahaya," kata Luis Sfeir-Younis, manajer operasi Covid-19 Myanmar untuk Federasi Internasional Masyarakat Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.