REPUBLIKA.CO.ID, KIGALI -- Kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Rwanda menunjukkan kesediaan Prancis untuk mempertahankan hubungan bilateral yang baik. Hal itu menurut para analis dan pengamat.
Pemimpin Prancis mengakhiri perjalanan dua hari bersejarah ke negara Afrika Timur pada Jumat (28/5). Dia mengadakan pembicaraan bilateral dengan rekannya Paul Kagame, meresmikan pusat budaya Prancis di ibukota Kigali, dan mengunjungi pusat pelatihan kejuruan di Rwanda utara, Pusat Regional Politeknik Terpadu.
Departemen mekatronika juga akan didirikan di pusat pelatihan melalui kemitraan dengan Badan Pengembangan Prancis.
Kenapa sekarang
Bagi para analis, Prancis adalah negara adidaya dan dapat mendukung kepentingan Rwanda dalam banyak hal.
Rwanda telah menjadi menonjol di benua Afrika dan kancah internasional karena banyak inisiatif yang melibatkan Kagame.
"Untuk alasan ini, Prancis perlu memperbaiki hubungannya dengan negara yang pengaruhnya di benua dan kancah internasional tumbuh," ujar Frederick Golooba-Mutebi, seorang peneliti politik dan urusan publik yang berbasis di Kigali pada Anadolu Agency dalam sebuah wawancara.
Rwanda telah lama menuduh Prancis terlibat dalam genosida 1994 terhadap kelompok etnis Tutsi. Selama seperempat abad, terjadi ketegangan antara Rwanda dan Prancis. Kigali pernah memutuskan hubungan dengan Prancis.
Kunjungan Macron mengikuti rilis dua laporan tahun ini yang merinci peran Prancis dalam genosida. Sebuah laporan pemerintah Rwanda yang dirilis pada April mengatakan para pejabat Prancis mempersenjatai, menasihati, melatih, melengkapi, dan melindungi pemerintah Rwanda, tanpa mengindahkan komitmen rezim (saat itu Presiden Juvenal) Habyarimana terhadap dehumanisasi dan, pada akhirnya, penghancuran, dan kematian Tutsi di Rwanda.
Pada Maret, komisi Prancis yang ditunjuk oleh Macron mengatakan Prancis "buta" terhadap genosida yang akan datang dan meremehkan peran negara tersebut sebagai kaki tangan operasi genosida.
Bagi banyak orang Rwanda, kunjungan Macron menandai awal yang baru.
Dalam beberapa jam setelah tiba di Rwanda, Macron menuju ke Kigali Genocide Memorial, tempat peristirahatan terakhir bagi lebih dari 250.000 korban genosida, dia “mengakui tanggung jawab Prancis” dalam genosida tersebut.
Warga Rwanda mendengarkan dengan seksama ketika Macron menyampaikan pidato di televisi di pusat peringatan.
Tidak ada permintaan maaf