REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Lebih dari 50 orang mantan menteri luar negeri, perdana menteri, dan juga tokoh internasional senior menulis surat terbuka. Isinya, mengutuk upaya yang mengganggu penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas kejahatan perang di wilayah Palestina.
Hal ini mengikuti langkah-langkah yang dlakukan oleh mantan pemerintahan Trump di AS untuk memberikan sanksi kepada pejabat pengadilan. Langkah-langkah ini juga, terjadi lagi pada pemerintahan Biden.
Begitu pula Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson yang juga terlibat dalam kampanye untuk mencegah penyelidikan. Pada bulan lalu, Boris mengatakan, penyelidikan ICC memberi kesan sebagai serangan parsial dan merugikan seorang teman dan sekutu Inggris.
Dilansir Republika dari Arab News, Rabu (2/6), Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu telah mengklaim bahwa setiap penyelidikan ICC akan merupakan "antisemitisme murni."
Surat terbuka para mantan pemimpin dunia itu, mengutuk peningkatan terhadap ICC, staf dan juga kelompok masyarakat sipil yang bekerja sama. “Kami menyaksikan dengan keprihatinan serius perintah eksekutif yang dikeluarkan di AS oleh mantan presiden Donald Trump dan sanksi yang ditujukan terhadap staf pengadilan dan anggota keluarga mereka,” bunyinya.
“Yang sangat mengkhawatirkan sekarang adalah kritik publik yang tidak beralasan terhadap pengadilan mengenai penyelidikannya atas dugaan kejahatan yang dilakukan di wilayah Palestina yang diduduki, termasuk tuduhan antisemitisme yang tidak berdasar,” tambah surat itu.
Surat terbuka itu, menyebut pertanggungjawaban atas pelanggaran hak yang serius oleh semua pihak yang berkonflik sangat penting untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan dan abadi. Hal ini terjadi di Israel-Palestina, seperti halnya di Sudan, Libya, Afghanistan, Mali, Bangladesh/Myanmar, Kolombia dan Ukraina.
“Upaya untuk mendiskreditkan pengadilan dan menghalangi pekerjaannya tidak dapat ditoleransi jika kita serius dalam mempromosikan dan menegakkan keadilan secara global. Kami memahami ketakutan akan keluhan dan investigasi yang bermotif politik,” terang surat tersebut.
Penyelidikan ICC juga menghadapi kritik dari negara-negara besar Eropa, terutama Jerman, yang mengatakan, pengadilan tidak memiliki yurisdiksi karena tidak adanya unsur kenegaraan Palestina yang disyaratkan oleh hukum internasional.
Tetapi Mogens Lykketoft, mantan menteri luar negeri Denmark dan mantan presiden Majelis Umum PBB, membela penyelidikan ICC. “Sebuah tatanan global berbasis aturan didasarkan pada gagasan bahwa pelanggaran hukum internasional harus dihadapi dengan konsekuensi,” katanya.
“ICC adalah alat penting untuk tujuan itu, dan adalah kewajiban kita untuk melindungi independensinya dan memperkuat kemampuannya untuk bekerja,” tambahnya.