Cina berupaya membuat sejumlah langkah efektif untuk menangani krisis demografis, salah satunya adalah mengizinkan para orangtua memiliki tiga anak. Langkah tersebut semakin melonggarkan kontrol ketat Beijing atas hak-hak reproduksi warganya, yang diterapkan selama beberapa dekade terakhir.
Sejumlah ahli menilai kebijakan baru dari Beijing itu hanya akan berdampak terbatas pada tingkat reproduksi di Cina. Stuart Gietel-Basten, seorang profesor ilmu sosial dan kebijakan publik di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong (HKUST), mengatakan kepada DW bahwa beberapa data hasil surveinya menunjukkan hanya segelintir warga Cina yang benar-benar ingin memiliki tiga anak.
Dia mengatakan faktor-faktor seperti biaya membesarkan anak-anak dan peluang karier bagi wanita yang bekerja, membuat banyak wanita Cina enggan memiliki lebih banyak anak. "Kami tidak memprediksi perubahan kebijakan itu, akan membuat perbedaan besar pada pola fertilitas secara keseluruhan di Cina," katanya.
Banyak warga enggan miliki tiga anak
Brenda Liao, mahasiswi berumur 25 tahun, mengatakan kepada DW, banyak wanita seusianya sekarang mempraktikkan gaya hidup baru yang disebut "rebahan", mengacu pada filosofi yang mendorong wanita dan pria di Cina untuk mengerahkan upaya minimal untuk memenuhi tugas atau hal-hal dalam hidup.
"Tidak peduli kebijakan keluarga berencana pemerintah, karena saya sudah berkomitmen untuk memenuhi semangat 'rebahan' dengan tidak memaksakan harapan tentang memiliki anak pada diri saya sendiri," kata Liao. "Banyak teman saya juga memiliki filosofi yang sama dalam hidup."
Wanita lain menyoroti tingginya biaya membesarkan anak di kota-kota besar di Cina sebagai alasan lain mengapa mereka tidak mempertimbangkan untuk mematuhi kebijakan tiga anak pemerintah. "Saya tinggal di kota tingkat satu di Cina, sehingga biaya untuk membesarkan anak membuat saya sangat cemas," kata Lily Bi, seorang profesor universitas.
Faktanya, sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh kantor berita Xinhua yang dikelola pemerintah di platform microblogging Weibo juga mendukung pemikiran yang dibagikan oleh banyak wanita Cina.
Jajak pendapat tersebut menanyakan kesiapan para responden terhadap kebijakan tiga anak. Lebih dari 28.000 dari 31.000 responden mengatakan mereka tidak akan pernah mempertimbangkannya. Jajak pendapat itu kemudian dihapus dari Weibo.
Mengganggu hak-hak dasar warga
Meskipun kebijakan tiga anak melonggarkan kontrol ketat pemerintah atas hak-hak reproduksi, esensi dari undang-undang tersebut tetap mengganggu hak-hak dasar warga negara Cina.
"Keluarga Berencana memicu perang saudara selama setengah abad antara pemerintah Tiongkok dan rakyat Tiongkok. Untuk mengakhiri perang saudara ini, perubahan arah kebijakan kependudukan perlu diselesaikan dengan keputusan Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok," kata Yi Fuxian, seorang ilmuwan di University of Wisconsin-Madison di Amerika Serikat.
Langkah-langkah pendukung diperlukan
Gietel-Basten dari HKUST berpandangan bahwa selain kebijakan tiga anak, pemerintah Cina juga perlu meluncurkan langkah-langkah konkret yang dapat "memperbaiki masalah dari pangkalnya."
"Tantangan demografis Cina tidak akan mampu terselesaikan dengan cara meningkatkan jumlah kelahiran bayi,” kata Gietel-Basten.
Selain kebijakan tiga anak, pemerintah juga berencana untuk memperkenalkan serangkaian langkah-langkah pendukung dengan harapan dapat memperbaiki struktur populasi Cina secara mendasar.
Pemerintah berencana untuk menurunkan biaya pendidikan, meningkatkan dukungan keuangan dan perumahan, serta melindungi hak-hak hukum perempuan yang bekerja.
Terlepas dari kritik terhadap kebijakan tiga anak, Gietel-Basten mengatakan hal itu masih bisa menghasilkan beberapa perubahan positif untuk memperbaiki situasi tertentu yang harus dihadapi perempuan Cina. "Kebijakan itu menghilangkan inkonsistensi seputar kekhawatiran tentang tingkat kesuburan yang rendah," katanya. (ha/as)