REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Taiwan pada Kamis (3/6) meminta China untuk mengembalikan kekuasaan kepada rakyat dan memulai reformasi politik yang nyata daripada menghindari menghadapi sejarah tentang kekerasan berdarah Lapangan Tiananmen 1989 terhadap demonstran pro demokrasi di Beijing.
Hari Jumat (4/6) menandai 32 tahun sejak peristiwa Tiananmen 1989 di mana pasukan China melepaskan tembakan untuk mengakhiri kerusuhan yang dipimpin mahasiswa di dalam dan sekitar alun-alun. Pihak berwenang melarang peringatan publik dari acara tersebut di China daratan. Pemerintah China tidak pernah merilis secara penuh jumlah korban tewas dalam peristiwa Tiananmen, tetapi kelompok hak asasi manusia dan para saksi memperkirakan jumlah korban berkisar dari beberapa ratus hingga beberapa ribu orang.
Pemerintah Taiwan yang diperintah secara demokratis dan diklaim oleh China sebagai bagiannya, dalam sebuah pernyataan pada malam peringatan Tiananmen, mengatakan bahwa Beijing menghindari meminta maaf atas apa yang telah terjadi atau merenungi kesalahannya.
"Kami menyatakan penyesalan, dan menyerukan kepada pihak lain untuk menerapkan reformasi politik yang berpusat pada rakyat, berhenti menekan tuntutan demokrasi rakyat, dan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat sesegera mungkin," kata pemerintah Taiwan.
Menyebut Partai Komunis China yang berkuasa sebagai "kediktatoran satu partai", dewan perwakilan rakyat Taiwan mengatakan penindasan Beijing di dalam negeri dan di Hong Kong telah menyimpang dari nilai-nilai universal dan aturan internasional. "Mereka tidak hanya memperdalam kontradiksi sosial yang mendalam di masyarakat mereka sendiri, meningkatkan kesulitan reformasi sistemik, tetapi juga menciptakan risiko konflik, yang mempengaruhi keamanan dan stabilitas regional," kata dewan Taiwan itu. Namun, Kantor China untuk Urusan Taiwan tidak segera menanggapi permintaan komentar.