Pengadilan Tinggi Pakistan menolak tuduhan penistaan agama terhadap pasangan Kristen pada Kamis (03/06) dan membatalkan hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan lebih rendah pada 2014.
Shafqat Emmanuel Masih dan istrinya, Shughufta Kausar Masih dituduh mengirim pesan teks kepada rekan muslim mereka yang diduga berisi hinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Namun, pasangan itu mengaku buta huruf.
Mereka mengklaim telah dijebak, lantaran adanya perselisihan terkait pekerjaan. Rekan kerja Shughufta Kausar Masih dicurigai mencuri dokumen identitas mereka dan menggunakannya untuk membeli nomor ponsel atas nama pasangan itu.
Bagaimana sikap Uni Eropa?
Pembatalan hukuman mati pasangan Masih terjadi setelah Parlemen Eropa mengecam tindakan "mengkhawatirkan" dalam kasus penistaan agama. Mengomentari tuduhan terhadap Masih dan istrinya, anggota parlemen mengatakan bukti itu "sangat cacat" dan mendesak pihak berwenang Pakistan untuk mencabut hukuman mati "segera dan tanpa syarat."
Pada Kamis (03/06), pengacara pasangan Masih, Saiful Malook mengatakan kliennya akan bebas dari penjara pada pekan depan. "Saya sangat senang bahwa kami bisa membebaskan pasangan ini, mereka termasuk orang yang paling tidak berdaya di masyarakat kami," kata pengacara itu.
Mengapa kasus ini penting?
Tuduhan penistaan agama adalah masalah serius di Pakistan yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di banyak daerah, rumor tentang perilaku anti-Islam sudah cukup mampu memicu serangan kekerasan terhadap kelompok minoritas.
Pada 2009, setidaknya tujuh orang tewas di Gojra, sebelah barat Lahore, setelah massa menyerang pemukiman warga Kristen atas dugaan penistaan Alquran.
Mengutip informasi dari Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional, harian Pakistani Dawn melaporkan hingga saat ini sekitar 80 orang masih dipenjara atas tuduhan penistaan agama. Setengah dari mereka menghadapi hukuman mati atau penjara seumur hidup.
ha/hp (AFP, Reuters, EPD)