Sabtu 05 Jun 2021 07:36 WIB

Demo Agar Australia Stop Jual Senjata ke Indonesia

Demo Agar Australia Stop Jual Senjata ke Indonesia

Red:
Demo Agar Australia Stop Jual Senjata ke Indonesia
Demo Agar Australia Stop Jual Senjata ke Indonesia

Para demonstran di Brisbane, Australia, mendesak perusahaan-perusahaan pabrik senjata terbesar di dunia untuk menghentikan penjualan produk mereka ke Indonesia atas tindakan militernya di 'West Papua'

Seruan ini dilontarkan dalam ajang pameran persenjataan 'Land Forces Australia Expo' di Brisbane Convention and Exhibition Centre yang berlangsung dari 1 hingga 3 Juni 2021 kemarin.

Aksi demonstrasi berlangsung selama dua kali, termasuk yang dilakukan pada hari Rabu ketika sekitar 20 aktivis berhasil menerobos masuk ke arena pameran dari pintu samping yang tak terkunci.

Dari laporan ABC, setelah berada di dalam pada sekitar Pukul 2:30 siang, beberapa aktivis kemudian memanjat ke atas sebuah tank yang sedang dipamerkan.

Seorang aktivis berusia 27 tahun merantai lehernya ke salah satu bagian tank tersebut dengan menggunakan kunci sepeda model D-Lock.

Polisi membubarkan para aktivis ini, namun 17 orang di antaranya langsung ditangkap untuk diproses hukum lebih lanjut.

Para pengunjung dan peserta pameran bersorak-sorai ketika polisi entangle para demonstran dan menurunkan mereka dari atas tank satu per satu.

'Duitnya dari darah dan air mata rakyat Papua'

Dalam aksi demonstrasi sebelumnya yang berlangsung di luar gedung pameran, seorang pengungsi asal 'West Papua', George Dimara turut menyuarakan desakan penghentian penjualan senjata ke Indonesia.

George melarikan diri dari 'West Papua' pada tahun 1984 karena saat itu, katanya, dia dipersekusi oleh aparat Pemerintah Indonesia.

Tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) ini tiba di Australia pada 29 Oktober 2000 setelah belasan tahun hidup di pengungsian di Papua Nugini.

Menurut dia, perusahaan-perusahaan pabrik senjata yang mengeruk keuntungan dari penjualan produk mereka ke Indonesia, tangan mereka berlumuran darah.

Operasi militer kini sedang berlangsung di 'West Papua' setelah Kepala Badan Intelijen Nasional Daerah (Kabinda) Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha tewas tertembak di Beoga, Kabupaten Puncak.

Setelah kejadian itu, pemerintah Indonesia memutuskan untuk melabeli Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sebagai organiasi teroris.

Menurut Jason McLeod dari organisasi kampanye 'Make West Papua Safe', dengan menekan pabrik pembuatan senjata secara langsung, hasilnya bisa lebih efektif dibandingkan dengan berharap pada politisi Australia.

"Sudah sekitar 50 tahun kita di negara ini di mana fokus utamanya pada politisi. Dan para politisi ini semakin memihak pada pemerintah Indonesia," ujar Jason.

"Apa yang terjadi dengan demo Disrupt Land Forces adalah perubahan arah dengan membidik operator komersial serta menyoroti biaya ekonomi dan politik yang akan ditanggung para operator komersial ini," jelasnya.

Kelompok 'Disrupt Land Forces' menyatakan mereka berhasil masuk ke arena pameran melalui pintu samping yang tak dikunci.

Namun polisi menyebutkan ada pengunjung pameran yang membuka pintu tersebut.

Juru bicara kelompok ini, Jarrah Kershaw, mengaku sengaja membidik pameran karena "perusahaan-perusahaan ini dan Angkatan Bersenjata yang membeli senjata mereka tidak diterima di Brisbane".

Pada demo hari pertama yang diikuti ratusan orang, Selasa (1/06/2021), tujuh aktivis ditangkap polisi.

Para demonstran menumpahkan darah tiruan di tangga dan lantai gedung pameran.

Mereka juga meneriaki tentara berseragam yang hadir di sana dengan ujaran "penjahat perang".

Seorang peserta unjuk rasa, Wendy Flannery mengatakan ia ikut dalam aksi ini karena khawatir dengan kerusakan yang dialami dari persenjataan militer secara umum.

"Pembuatan senjata merupakan industri besar yang sangat menguntungkan," ujarnya.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari laporan program Pacific Beat

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement