REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Para diplomat AS dan Inggris mendesak pasukan Houthi untuk mengakhiri serangan di Yaman utara pada Ahad (7/6) setelah sedikitnya 17 orang tewas dalam ledakan, yang dituduh pemerintah dukungan Saudi dilakukan oleh Houthi melalui serangan rudal.
Kelompok Houthi, yang menggulingkan pemerintah dari ibu kota, Sanaa, pada akhir 2014 kemudian mengatakan hanya menyerang sebuah kamp militer di Kota Marib pada Sabtu (6/6) dan menyambut baik penyelidikan independen atas insiden tersebut. Di antara mereka yang tewas dalam ledakan pada Sabtu, di dekat sebuah pompa bensin di Kota Marib, adalah seorang bocah perempuan berusia lima tahun yang hangus hingga tak bisa dikenali.
Tayangan Reuters TV menunjukkan sebagian tubuh anak dan seorang pria, yang menurut kementerian dalam negeri adalah ayahnya, terbaring di rumah sakit militer. Sumber-sumber medis di rumah sakit mengatakan kepada Reuters pada Ahad bahwa jumlah korban tewas telah meningkat menjadi 21 jiwa setelah pihak berwenang mengatakan jumlah korban tewas sebanyak 17 orang.
Pemerintah Yaman, yang diakui secara internasional dan telah memerangi gerakan Houthi selama lebih dari enam tahun, mengatakan ledakan itu, yang menghancurkan pompa bensin dan memusnahkan mobil, disebabkan oleh rudal Houthi. Marib telah menjadi titik fokus perang sejak Houthi melancarkan serangan untuk merebut wilayah yang kaya gas, benteng terakhir pemerintah di Yaman utara.
"Kekerasan tidak manusiawi ini harus diakhiri," kata Cathy Westley, kuasa usaha di kedutaan AS, dalam pernyataan.
Duta Besar Inggris untuk Yaman, Michael Aron, mengatakan di Twitter bahwa keterlibatan serius Houthi dengan upaya PBB untuk mengamankan gencatan senjata nasional akan "mencegah kerugian tragis seperti itu". Yaman terperosok dalam kekerasan sejak koalisi militer pimpinan Arab Saudi melakukan intervensi pada Maret 2015 melawan Houthi, yang mengatakan mereka memerangi sistem yang korup dan agresi asing.
Konflik tersebut telah menewaskan puluhan ribu orang, termasuk dalam serangan udara koalisi. Konflik juga menyebabkan krisis kemanusiaan terbesar di dunia dengan 80 persen penduduk negara itu bergantung pada bantuan.