REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar Tom Andrews memperingatkan potensi kematian massal di negara itu akibat kelaparan dan penyakit wabah sebagai dampak dari konflik sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu.
Myanmar berada dalam kekacauan dan ekonominya lumpuh sejak kudeta Februari. Tindakan keras militer brutal terhadap perbedaan pendapat telah menewaskan lebih dari 800 orang.
Pertempuran telah terjadi di beberapa komunitas, terutama di kota-kota yang menyaksikan jumlah korban tewas di tangan polisi. Sejumlah penduduk juga dilaporkan telah membentuk apa yang disebut sebagai pasukan pertahanan.
Bentrokan meningkat di negara bagian Kayah dekat perbatasan Thailand dalam beberapa pekan terakhir. Penduduk setempat menuduh militer menembakkan peluru artileri yang mendarat di dekat desa-desa.
PBB memperkirakan sekitar 100 ribu orang mengungsi. “Serangan brutal militer tanpa pandang bulu mengancam kehidupan ribuan pria, wanita dan anak-anak di negara bagian Kayah”, ujar Andrews dalam sebuah pernyataan, dilansir France 24, Rabu (9/6).
Kematian massal akibat kelaparan dan penyakit dalam skala yang belum pernah dilihat sebelumnya bisa terjadi di Kayah. Penduduk desa dilaporkan membuat senjata di pabrik darurat saat kelompok pertahanan lokal melawan militer Myanmar yang keras.
Upaya diplomatik untuk menghentikan pertumpahan darah telah dipimpin oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), di mana Myanmar adalah salah satu anggotanya. Namun, blok itu terbelah dengan pertikaian dan hanya berhasil memberikan sedikit tekanan pada junta militer.