Jumat 11 Jun 2021 07:40 WIB

Jubir Taliban: Turki Harus Tarik Pasukan dari Afghanistan

Turki dinilai bagian dari pasukan NATO dalam 20 tahun terakhir.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
Delegasi Taliban (ilustrasi).
Foto: AP/Hussein Sayed
Delegasi Taliban (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Juru bicara Taliban mengatakan, Turki harus menarik pasukannya dari Afghanistan. Hal itu berdasarkan kesepakatan penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) 2020

Pernyataan ini sekaligus menolak usulan Ankara untuk melindungi dan mengelola bandara Kabul setelah pasukan NATO yang dipimpin AS pergi dari negara itu.  

Baca Juga

"Dalam 20 tahun terakhir Turki bagian dari pasukan NATO, jadi mereka juga harus mundur dari Afghanistan berdasarkan Kesepakatan yang kami tanda tangani dengan AS pada 29 Februari 2020," kata Suhail Shaheen, Kamis (10/6).  

"Jika tidak, Turki negara Islam yang besar, Afghanistan memiliki hubungan sejarah dengannya, kami berharap memiliki hubungan erat dan baik dengan mereka sebagai pemerintah Islam yang baru yang berdiri di masa depan," tambahnya.

Perkembangan ini menimbulkan pertanyaan serius bagi AS, negara-negara lain dan organisasi internasional yang memiliki misi di Kabul. Bagaimana caranya evakuasi personel mereka dengan aman saat ada pertempuran di Kabul.

Penolakan Taliban menghancurkan harapan Ankara untuk memperbaiki hubungan dengan Washington lewat pengamanan bandara Kabul. Gagasan ini dijadwalkan dibahas dalam pertemuan antara Presiden AS Joe Biden dan Presiden Turki Tayyep Erdogan Senin (14/6) mendatang.

Hubungan Turki dan AS memburuk setelah Ankara membeli sistem pertahanan Rusia.

Departemen Luar Negeri AS dan Kementerian Luar Negeri Turki belum menanggapi permintaan komentar Taliban ini. Pada Kamis kemarin Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin bertemu dengan Menteri Pertahanan Turki Hulusi Akar.

Pentagon mengatakan mereka 'membahas kerja sama bilateral dan isu-isu kawasan'. Dalam pernyataan tersebut Departemen Pertahanan AS tidak menyebutkan Afghanistan secara spesifik.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement